"Ini bukan lagi tentang pengumpulan informasi intelijen, tetapi lebih pada penindasan yang dilakukan oleh badan intelijen (MIT). Bahkan, Stasi saja tidak memiliki agen sebanyak MIT,”BERLIN -- Dampak kudeta yang dilakukan sekelompok kecil militer Turki untuk menumbangkan kekuasaan Presiden Turki, Reccep Tayyip Erdogan, hingga kini ternyata belum juga berakhir. Walau berhasil menggagalkan kudeta tersebut, Presiden Erdogan sepertinya belum bisa tenang sebelum bisa menumpas dan menghabisi seluruh kekuatan kelompok opisisi Fethullah Gullen.
Erdogan merasa terancam dengan kemungkinan adanya pergerakan kudeta kedua, yang dilakukan kelompok oposisi Gullen. Demi menghabisi semua ancaman oposisi itu, Erdogan mengirimkan sejumlah mata-mata ke berbagai negara di seluruh dunia.
Bahkan di Indonesia sendiri pun tak lepas dari tuduhan rezim Erdogan bahwa terdapat kekuatan kelompok Gullen dalam bentuk berbagai yayasan pendidikan. Erdogan sempat mendesak Indonesia untuk menyerahkan para oposisi Gullen dan menutup yayasan pendidikan tersebut.
Di Eropa, tanpa malu-malu Erdogan mengirimkan sejumlah aparat intelijen untuk mengawasi setiap warga negaranya di benua itu. Tak ayal lagi sikap Turki itu membuat sejumlah negara marah, dan menganggap Turki menginjak-injak kedaulatan negara mereka.
Seorang petugas keamanan yang dianggap pendukung aksi kudeta, ditangkap aparat keamanan Turki pro Erdogan. (Foto: Istimewa) |
Ia menyebutkan, intelijen Turki yang dikenal sebagai MIT memiliki lebih dari 800 agen yang menjalankan 6.000 mata-mata di Jerman. Saat ini diperkirakan terdapat sekira tiga juta warga Turki menetap di Jerman.
Menurut politisi tersebut, seperti diberitakan Die Welt,satu intel akan mengawasi 500 warga Turki di Jerman. Bahkan, jumlah mata-mata Turki ini disebut melebihi agen Stasi, yaitu polisi rahasia yang sangat legendaris di Jerman Timur. Kepala Kebijakan Perdamaian Institut Riset Jerman, Erich Schnidt-Eenboom mengaku khawatir dengan keadaan ini.
"Ini bukan lagi tentang pengumpulan informasi intelijen, tetapi lebih pada penindasan yang dilakukan oleh badan intelijen (MIT). Bahkan, Stasi saja tidak memiliki agen sebanyak MIT,” ujar Eenboom, seperti dilansir Daily Caller, Selasa (23/8/16).
Anggota Parlemen Green Party (MP), Hans-Christian Strobele bahkan menyebut jumlah agen mata-mata MIT di Jerman sungguh tidak dapat dipercaya. Strobele menyebut agen rahasia Turki ini benar-benar tidak dapat dideteksi. Terlebih lagi, mereka tidak menerima uang dari Pemerintah Turki atas pekerjaannya.
Seorang jurnalis Turki yang dituduh mendukung aksi kudeta, langsung disergap aparat keamanan saat masih menyiarkan sebuah berita. (Foto: Istimewa) |
Di Belanda, Turki juga melakukan gerakan intelijen yang sama. Konsulat Jenderal Turki di Belanda, Sadin Ayyildiz, mengirimkan surat berisi himbauan untuk menangkal protes anti-pemerintah Erdogan di sejumlah kota. Permintaan Turki itu langsung ditolak mentah-mentah oleh otoritas Negeri Tulip.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda Bert Koenders meminta Turki untuk berhenti mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Surat tersebut membuat Koenders menjadwalkan kunjungan pekan depan ke Ankara untuk menyampaikan protes secara langsung. Belanda berpendapat bahwa Turki tidak seharusnya mencampuri urusan dalam negeri Amsterdam.
“Belanda mengatasi warganya sendiri dan tidak ada urusannya dengan pemerintah Turki. Kami bebas berbicara mengenai Turki. Demikian juga Turki bebas berbicara mengenai Belanda. Ini seperti mempertanyakan tanggung jawab nasional kami di Belanda,” ujar Koenders, seperti dimuat Russia Today, Minggu (28/8/2016).
Rakyat Turki mulai melakukan demonstrasi menetang gaya kepemimpinan Presiden Erdogan yang dianggap semakin otoriter dan kejam. (Foto: Istimewa) |
Sejumlah pengamat dunia meyakini bahwa, kudeta tersebut bahkan merupakan hasil rekayasa Erdogan sendiri demi semakin memperkuat cengkraman kekuasannya, dan menumpas seluruh pesaing politiknya. Erdogan dituduh telah memanfaatkan simbol-simbol Islam dalam pemerintahannya, demi menarik simpati rakyat Turki dari kalangan agamais. (*)
Sumber: Die Welt/Daily Caller/Russia Today