Pasukan TNI Angkatan Udara menangkap pilot pesawat sipil yang menerobos wilayah Indonesia tanpa izin. (Foto: istimewa) |
“Pelanggaran seperti itu banyak dan tidak hanya terjadi di sekitar Natuna saja,”JAKARTA -- Memiliki wilayah yang sangat luas dan kondisi geografis yang sangat unik dan strategis, bukan perkara mudah menjaga kedaulatan Indonesia dari berbagai macam pelanggaran yang dilakukan militer negara lain.
Presiden Soekarno, dalam salah satu bukunya, menyebut Indonesia sebagai “The most broken up nation in the world.” Tak berlebihan, sebab wilayah Indonesia terlampau luas dengan ribuan pulau terserak sehingga sukar dijaga. Butuh upaya ekstra keras untuk melindungi seluruh daratan, lautan, dan zona udara Republik.
Nyaris setiap hari TNI Angkatan Udara memergoki pesawat asing menerobos tanpa izin di langit Indonesia. Kejadian itu selalu berulang meski patroli udara digelar di kawasan Natuna, Kepulauan Riau, sejak pertengahan September. Patroli bersama Angkatan Laut dan Udara belakangan digalakkan untuk memastikan keamanan wilayah nusantara. Namun tak semudah itu menjaga angkasa Garuda dari penyusup.
Kepala Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas), Letnan Kolonel Totok Ginarto, mengatakan setiap hari rata-rata terjadi tiga pelanggaran di wilayah udara Indonesia. Jumlah pelanggaran bahkan terus meningkat belakangan ini. Negara yang paling sering melakukan pelanggaran adalah Amerika Serikat. Jet tempur Angkatan Laut AS (US Navy) sudah menjadi langganan melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan udara Indonesia.
Pada 18 September contohnya, Popunas yang bermarkas di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, mencatat lima pelanggaran wilayah udara Indonesia. “Pelanggaran seperti itu banyak dan tidak hanya terjadi di sekitar Natuna saja,” kata Totok.
Menurut Hadiyan, pelanggaran udara biasa dilakukan oleh angkutan udara tak terjadwal, yakni penerbangan yang dilakukan pada rute dan jadwal yang tak tetap dan tak teratur. Penerbangan tak berjadwal, menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2015, ada tujuh kategori, yakni taksi udara, lintas wilayah (overflying), pesawat untuk kepentingan sendiri (own use charter), dan pesawat yang digunakan rombongan tertentu bukan untuk tujuan wisata (afinity group).
Sebelum masuk ke Indonesia, pesawat tak berjadwal itu wajib mendapatkan izin terbang (flight clearance) berupa izin diplomatik (diplomatic clearance) dari Kementerian Luar Negeri RI, izin keamanan (security clearance) dari Markas Besar TNI, dan persetujuan terbang (flight approval) dari Kementerian Perhubungan RI.
Tetap Tegas di Tengah Keterbatasan
Sebenarnya tak terlalu sulit untuk mengetahui apakah pesawat yang masuk wilayah udara Indonesia mengantongi izin terbang atau tidak, sebab Popunas memiliki pusat data yang terintegrasi dengan tiga lembaga pemberi izin terbang , yaitu Kemlu, Mabes TNI, Kemhub. Dalam waktu kurang dari setengah jam, Popunas dapat memastikan apakah pesawat yang masuk ke wilayah udara RI berizin atau tidak.
“Selama ini pesawat yang melanggar wilayah udara kita bukan ancaman serius. Mereka hanya melintas. Tapi tetap saja, kalau mereka lewat Indonesia tanpa permisi, ya pasti akan kami kejar,” kata Totok.
Pada operasi pencegatan atau intersepsi, Kohanudnas yang secara struktural berada di bawah Mabes TNI harus lebih dulu meminta TNI AU mengerahkan pesawat tempur mereka. Pesawat yang diterbangkan berasal dari Lanud terdekat dari titik koordinat pesawat penyusup.
Belakangan, karena intensitas pelanggaran udara di Kepulauan Riau meningkat, TNI AU menyiagakan empat Sukhoi milik Skuadron 11 Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar, di Bandara Hang Nadim, Batam.
Keberadaan jet-jet tempur buatan Rusia di Batam itu sangat membantu Kohanudnas mengejar pesawat-pesawat gelap di sekitar Natuna. Pesawat milik US Navy yang menyusup misalnya, dapat segera diusir dalam waktu singkat. Hanya butuh 20 menit bagi Sukhoi TNI AU untuk terbang dari Batam dan mengintersepsi pesawat tempur US Navy itu untuk kemudian dipaksa keluar dari wilayah udara Indonesia.
Namun kondisi berbeda terjadi jika Sukhoi-Sukhoi itu tak sedang parkir di Hang Nadim. Kohanudnas harus menunggu kedatangan jet tempur milik Skuadron 12 dari Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, atau dari Skuadron 11 Lanud Hasanuddin, Makassar. Padahal perjalanan dari Pekanbaru atau Makassar ke Natuna butuh waktu lebih lama. Pesawat penyusup pun tak bisa dengan cepat diintersepsi. Bisa jadi pesawat itu sudah keburu hilang ketika jet tempur RI tiba.
Kohanudnas mengakui kondisi mereka memang serba terbatas. Namun mereka akan terus mengawasi langit nusantara dari para penyusup. Menjadi tugas sulit bagi Angkatan Udara untuk menghadang banyaknya penyusup di langit itu. “Rumah kita tidak boleh dilewati seenaknya,” kata Totok.
Tak Bisa Langsung Menembak Jatuh
Ketika ditanya kenapa TNI AU tidak langsung menembak saja setiap pesawat asing yang menerobos wilayah udara Indonesia tanpa izin, untuk menimbulkan efek jera kepada para pelaku, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna mengatakan, pasukannya tak bakal langsung menembak tiap pesawat tak berizin itu. Namun, ujar Agus, bukan pula berarti Indonesia diam ketika kedaulatan udaranya diganggu. Kedaulatan udara, kata mantan Atase Pertahanan RI di Singapura itu, sama pentingnya dengan kedaulatan di darat dan laut.
Helikopter militer Malaysia saat menerobos wilayah udara Indonesia tanpa izin di perbatasan Kalimantan dan Sarawak (Foto: istimewa) |
Ia mengatakan, lalu lintas udara serupa lalu lintas di darat. Ada jalur dan aturan penggunaan lintasan. Seluruhnya dipantau Markas Besar TNI lewat Komandan Pertahanan Udara Nasional. Menurut Agus, tiap negara pada dasarnya paham aturan lalu lintas udara.
Berbagai pelanggaran wilayah udara, ujarnya, jangan sampai memicu permusuhan antarnegara. Apalagi kemungkinan pesawat Indonesia juga pernah melanggar wilayah udara negara lain. “Mungkin kita juga pernah melanggar ruang udara negara lain. Sedang enak terbang ternyata sudah masuk tempat orang,” ucap mantan penerbang pesawat tempur itu.
Penguatan armada tempur dan diplomasi harus seiring sejalan. Terbatasnya pesawat tempur dan alutsista yang dimiliki TNI AU menjadi penyebab terbesar terjadinya pelanggaran wilayah yang dilakukan negara asing. Ditambah lagi posisi geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah jalur lalu lintas dunia, menjadi suatu hal yang mustahil Indonesia mampu menghalau setiap pelanggaran wilayah di tengah keterbatasan armada tempur TNI.
Jadi, Indonesia tidak bisa langsung menyalahkan 'para maling' yang masuk ke perkarangannya jika belum memagari dan membentengi wilayahnya sendiri dengan baik. (*)
Sumber: Jalurmiliter/cnnindonesia.com