“Saya berharap para pemimpin Negara Barat di dunia bereaksi yang sama (terhadap kudeta militer di Turki) dengan cara yang sama. Bukannya malah berpuas diri dengan beberapa klise,”ANKARA -- Pasca kudeta gagal yang dilakukan sekelompok militer Turki, terjadi perobahan drastis dalam pemerintahan Presiden Reccep Tayyip Erdogan. Turki yang sebelumnya berseberangan dengan Rusia dan Iran, kini justru semakin dekat.
Bukan tanpa alasan, Erdogan merubah sikapnya karena merasa berhutang budi dengan bantuan yang diberikan Rusia dan Iran dalam upaya menggagalkan aksi kudeta militer untuk menjatuhkan pemerintahannya.
Seperti diketahui, Setelah kudeta berhasil dikendalikan, Presiden Erdogan lalu melakukan kunjungan ke Rusia untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin. Pertemuan ini adalah yang pertama kalinya terjadi semenjak insiden ditembak jatuhnya pesawat tempur Rusia oleh militer Turki.
Dalam pertemuan tersebut, mereka dikabarkan menjalin sejumlah kerjasama termasuk investasi besar-besaran Rusia di Turki. Kabar kedekatan dua pemimpin dunia inilah yang membuat Barat menjadi semakin takut dan cemas. Demikian sebagaimana dilansir TIME, Kamis (11/8/16).
Selain itu, kepada surat kabar harian Le Monde di Prancis, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pernah mengatakan kalau dia sekarang ini merasa ditinggalkan oleh sekutu-sekutunya di Negara Barat. Dia mencontohkan, kejadian teror di negaranya selalu diabaikan, dianggap biasa. Sementara ketika negara Eropa lain dilanda kengerian serupa, para kepala negara atau pemerintahannya menyambangi atau minimal ikut mengecam dan menyatakan belasungkawa.
Presiden Erdogan saat menemui Presiden Rusia, Vladimir Putin, setelah gagalnya aksi kudeta yang dilakukan pihak militer Turki. (Foto: istimewa) |
Ia kemudian mengambil pengandaian kedua mengapa dia merasa Turki diabaikan negara-negara barat. Ketika kudeta militer meletus di Ankara dan Istanbul pada 15 Juli, negara barat bukannya mengutuk upaya pemakzulan itu, tetapi malah mencerca cara dia memperlakukan para tahanan.
Sedangkan menurut Erdogan, Rusia dan Iran justru berlaku sebaliknya yang bersedia memberikan bantuan informasi dan intelijen dalam usaha menggagalkan aksi kudeta tersebut, padahal Rusia dan Iran sedang posisi bermusuhan dengan Turki.
“Saya berharap para pemimpin Negara Barat di dunia bereaksi yang sama (terhadap kudeta militer di Turki) dengan cara yang sama. Bukannya malah berpuas diri dengan beberapa klise,” tukasnya, sehari sebelum melakukan kunjungan krusial ke St Petersburg untuk bicara dari hati ke hati dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pecahnya hubungan Turki dengan aliansi Baratnya disebabkan Turki menuduh AS sebagai dalang di balik kudeta militer. Bahkan, Presiden Erdogan menolak keras kritik Barat atas sikap yang diambilnya untuk mengontrol pemerintahan.
Presiden Erdogan saat menemui Presiden Republik Islam Iran, Hassan Rouhani, setelah gagalnya aksi kudeta yang dilakukan pihak militer Turki. (Foto: istimewa) |
Uni Eropa menentang keras keputusannya Erdogan mengembalikan hukuman mati yang sudah lama dicabut dari konstitusi Turki. Amerika Serikat diminta mengekstradisi Fethullah Gulen, tetapi tidak kunjung mengabulkan permohonan tersebut.
NATO Mulai Terancam
Semakin merapatnya Erdogan dalam barisan Rusia dan Iran, membuat aliansi militer NATO mulai merasa cemas. Sebab, Turki adalah negara anggota NATO yang memiliki pasukan militer terbesar kedua dalam aliansi itu. Selain itu di Turki juga terdapat pangkalan militer Amerika Serikat di Incirlik, dimana rudal balistik berkemampuan nuklir AS ditempatkan.
Namun, Jerman sebagai salah satu anggota NATO mengaku tidak khawatir dengan membaiknya hubungan Rusia dan Turki. Pasalnya, Jerman menegaskan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) tidak akan melemah dengan rujuknya kedua negara tersebut.
Sebagaimana dikutip dari Newsweek, Selasa (10/8/16) Menteri Luar Negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeier mengatakan kepada tabloid Bild, ia tidak takut pendekatan kembali Turki ke Rusia akan berakhir dengan Turki meninggalkan NATO.
Pertemua para negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Aliansi Utara atau NATO. (Foto: Istimewa) |
Semakin dekatnya hubungan Turki dengan Rusia dan Iran, juga merusak strategi militer AS dan NATO di Timur Tengah, terkhusus di Suriah dan Irak. Sperti diketahui, hingga saat ini AS dengan dibantu NATO dan sejumlah negara Arab teluk masih berusaha menjatuhkan pemerintahan Presiden Bashar Al Assad sebagai pemimpin yang sah di Suriah.
Namun, sejak Rusia dan Iran ikut campur membantu pemerintah Suriah, pergerakan aliansi AS mulai terganggu, walaupun negara-negara koalisi yang dipimpin AS masih menyuplai persenjataan kepada teroris ISIS dan pemberontak Suriah lainnya.
Hubungan antara Turki dan Rusia sempat menegang setelah jet tempur Rusia ditembak jatuh dekat perbatasan Suriah. Insiden ini sempat membuat sejumlah pihak menduga kedua negara akan jatuh ke dalam konflik. Merespons hal ini, Rusia kemudian memberlakukan sanksi sehingga ekonomi Turki menjadi terguncang.
Pesawat tempur Sukhoi Su-24 Rusia, yang ditembak jatuh militer Turki. (Foto: Istimewa) |
Satu bulan setelah Presiden Erdogan meminta maaf, Turki diguncang oleh kudeta militer. Tragedi ini telah memakan ratusan korban jiwa. Bahkan, ribuan orang ditahan dan diberhentikan dari jabatannya.
Namun, kebijakan Presiden Erdogan pascakudeta telah membuat membuat ia dikritik negara sekutu baik Amerika Serikat (AS) dan juga negara-negara NATO. Sehingga momentum ini sangat tepat digunakan sang Presiden Turki untuk mencari ‘kawan lama’. (*)
Sumber: TIME/EurActiv/Newsweek