"Waktu demi waktu kita meningkatkan hubungan antar militer. Dan sangat penting bagi kita untuk menggarisbawahi bahwa Rusia siap untuk mengembangkan proses ini sejauh yang Indonesia inginkan,"JAKARTA -- Negara Federasi Rusia atau dulu dikenal dengan Uni Soviet, terikat hubungan sejarah yang sangat panjang dan hampir tak dapat dipisahkan dengan Indonesia. Walau penuh dengan pasang surut, nyatanya Rusia menjadi negara adidaya yang paling banyak membantu Indonesia, khususnya dalam bidang militer hingga kini.
Bahkan, Rusia menyatakan siap untuk membantu Indonesia mengembangkan dan memperkuat bidang militer. Hal itu disampaikan oleh Atase Militer Kedutaan Besar Rusia di Jakarta, Kolonel Nikolay Nikolayuk. Lagi-lagi hal ini didasari faktor kedekatan sejarah.
Nikolayuk menyatakan hubungan antara Rusia dan Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Dia menyebut, sejak awal kemerdekaan Indonesia, Rusia sudah memberikan dukungan dari segi politik maupun militer ke Indonesia.
"Berbicara mengenai sejarah hubungan bilateral antara Rusia dan Indonesia, saya ingin menyampaikan bahwa Rusia sudah menyediakan banyak dukungan militer dan politik kepada Indonesia sedari awal kemerdekaan (Indonesia)," ucap Nikolayuk, dikutip dari Sindonews.com, (26/2).
Nikolayuk mengatakan, saat ini hubungan kedua negara sudah mencapai babak baru, khususnya dalam bidang militer. Dia lalu menegaskan bahwa Rusia siap untuk membantu mengembangkan dan memperkuat militer, sejauh yang Indonesia inginkan.
Atase Militer Kedutaan Besar Rusia, Kolonel Nikolay Nikolayuk. (Foto: Victor Maulaua/Sindonews) |
Waktu demi waktu kita meningkatkan hubungan antar militer. Dan sangat penting bagi kita untuk menggarisbawahi bahwa Rusia siap untuk mengembangkan proses ini sejauh yang Indonesia inginkan," ucapnya.
Terikat Sejarah yang Dalam
Perjalanan sejarah mencatat, Uni Soviet mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan tertarik dengan misi Sukarno untuk membebaskan seluruh Hindia Timur dari pemerintahan kolonial Belanda.
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Papua. Pemerintah Belanda beralasan bahwa pulau dan suku-suku yang mendiami Papua memiliki kebudayaan mereka sendiri yang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.
Presiden pertama RI Sukarno, yang memimpin gerakan kemerdekaan Indonesia, membuat misi untuk membebaskan wilayah yang saat itu disebut sebagai Irian Barat dari kekuasaan Belanda.
Upaya Sukarno untuk membebaskan Irian Barat dimulai dengan melakukan negosiasi bilateral langsung dengan Belanda. Ketika langkah ini gagal, Indonesia kemudian mencoba untuk menggalang dukungan di Majelis Umum PBB. Namun, hal ini pun terbukti sia-sia.
Pada tahun 1956, Presiden Sukarno, melakukan kunjungan pertamanya ke Moskow. Di Moskow, sang presiden pertama RI membahas sengketa negaranya dengan Belanda. Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika, dengan cepat mengumumkan dukungannya terhadap Indonesia.
Moskow mulai mempersenjatai angkatan bersenjata Indonesia. Dari akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni Soviet telah memasok Indonesia dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.
Aktivitas militer Indonesia terus meningkat di wilyah yang dipersengketakan ini sampai pertengahan tahun 1962. AURI mulai beroperasi dari pangkalan di pulau-pulau sekitar Irian Barat dan pesawat pengebom Tupolev Tu-16 yang dikirim Soviet, lengkap dengan misil antikapal AS-1 Kennel/KS-1 Kome, dikerahkan untuk mengantisipasi serangan kapal HNLMS Karel Doorman milik Belanda.
“Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh Soviet. Belanda sudah kalah perang dengan rakyat Indonesia dan tidak siap untuk berurusan dengan tentara Indonesia yang dilengkapi dengan senjata modern,” kata Clarice Van den Hengel, seorang peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag, seperti dilansir dari RBTH.
Dengan dukungan persenjataan Soviet, Indonesia memulai kebijakan konfrontasi dengan Belanda pada tahun 1960. Tahap akhir konfrontasi memaksa invasi militer skala penuh, suatu rencana berisiko yang akan memaksa Amerika untuk campur tangan dan membantu Belanda.
Menteri Luar Negeri RI Subandrio, Selama puncak konfrontasi, terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet. Kemampuan Menlu Sukarno yang fasih berbahasa Rusia itu, menjadikan proses diplomatik dapat berjalan lancar.
Dalam memoarnya Nikita Khrushchev mengatakan kepada Subandrio, "Jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang, pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja.”
Meskipun dukungan Moskow terhadap Indonesia sangat jelas dan dinyatakan secara terbuka, pembicaraan antara Khrushchev dan Subandrio ini seharusnya bersifat rahasia. Namun, sang menlu, menurut memoar Khrushchev, mengungkapkan hasil pembicaraannya itu kepada Amerika, yang sama sekali tak ingin terjebak dalam krisis lain yang berpotensi menjadi Perang Dunia.
“Ini menjadi momen berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat. Selain ingin menghindari konfrontasi langsung dengan Uni Soviet, AS tidak ingin terlihat bahwa negaranya tampak mendukung penjajah Eropa melawan negara dunia ketiga yang baru merdeka,” kata Van den Hengel.
Di bawah tekanan Amerika, pada Agustus 1962, Belanda akhirnya setuju untuk menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Pada 1963, wilayah Irian Barat akhirnya diserahkan kepada Indonesia.
Setelah referendum tahun 1969, atau yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah oleh beberapa pengamat Barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.
Berikan Jaminan Anti-Embargo
Indonesia sejak era kemerdekaan setidaknya sudah beberapa kali mendapat embargo baik ekonomi maupun militer dari sejumlah negara Barat terutama Amerika Serikat (AS). AS pernah mengembargo bantuan teknis militer ke Indonesia dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia dan lemahnya pelaksanaan demokrasi.
Bahkan beberapa negara seperti AS, Inggris dan sejumlah negara Uni Eropa masih memberlakukan sejumlah embargo militer terbatas kepada Indonesia terutama dalam penguasaan persenjataan dan teknologi perang.
Namun berbeda dengan Rusia, melalui Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Alexander A. Ivanov, Rusia menyatakan tidak akan memberlakukan embargo atau larangan tertentu dalam kerja sama militer dengan Indonesia.
”Kami tidak akan pernah menerapkan embargo atau prakondisi politis dalam kerja sama teknis militer. Ini jaminan dari pemerintah Rusia,” kata Ivanov seperti dilansir tempo.co, (21/12/11).
Ivanov menjelaskan, Indonesia merupakan negara yang bersahabat dengan perkembangan demokrasinya yang sangat maju. Hubungan Rusia-Indonesia sendiri sudah terjalin sejak tahun 50-an sehingga pemerintah Rusia ingin tetap tetap merawat kerja sama tersebut.
Menurut Ivanov, apapun alasannya, Rusia tidak akan menerapkan sanksi embargo kepada Indonesia. Kata Ivanov, setiap negara, termasuk negara-negara Barat, memiliki persoalan dengan isu pelanggaran hak asasi manusia dan demokrasi.
Dan demokrasi di setiap negara berkembang berdasarkan karakter negara itu terkait dengan sejarah, budaya, dan tradisinya. Setiap negara, dia melanjutkan, memiliki tradisi, budaya, dan hal lainnya yang sifatnya spesifik.
“Ini hal serius. Tidak ada demokrasi yang tunggal. Jadi, Rusia sangat menghargai Indonesia sebagai negara bersahabat dan sangat cepat perkembangan demokrasinya,” ujar Ivanov. (*Berbagai sumber)