"Saya disuruh memilih mau diperkosa oleh salah satu dari mereka atau semuanya, Saya memohon agar mereka membunuh saya saja,"JUBA -- Lepasnya Sudan Selatan dari negara Islam Sudan, justru membuat wilayah tersebut semakin bergejolak. Perang suku, pembantaian etnis, dan ketidakstabilan politik terus saja terjadi di negara termuda di Afrika itu. Bahkan, pemerkosaan yang dialami para wanita di Sudan Selatan hampir terjadi setiap menitnya, meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menurunkan ratusan ribu pasukan penjaga perdamaian di negara konflik tersebut.
Ketidakmampuan pasukan PBB dalam memberikan perlindungan terhadap para wanita di Sudan Selatan terlihat pada peristiwa yang terjadi, sore 18 Juli lalu saat tentara Sudan Selatan menyeret Theresa. Dia hanya berjarak beberapa meter saja dari lokasi aman, kamp Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Ibu Kota Juba, Sudan Selatan, tempat dia mengungsi bersama ribuan warga lainnya.
Meski mereka berada di ruang terbuka, para tentara itu masih menyempatkan waktu membahas nasib Theresa. Mereka menawarkan pilihan kejam.
"Saya disuruh memilih mau diperkosa oleh salah satu dari mereka atau semuanya. Saya memohon agar mereka membunuh saya saja," kata Theresa, bukan nama sebenarnya, seperti dilansir koran the Guardian, Jumat (29/7).
Kelima pria itu, semuanya anggota Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SDLA), kemudian menyeret Theresa beberapa meter ke pinggir jalan. Mereka kemudian memperkosanya di siang bolong, di pinggir jalan itu.
Saksi mengatakan sejumlah pasukan perdamaian PBB asal Nepal dan China hanya melihat saja kejadian itu tanpa memberi pertolongan kepada korban.
Theresa bukan satu-satunya korban. Tak lama setelah bentrokan berdarah awal bulan ini antara pasukan pemerintah dan kelompok oposisi di Juba, puluhan wanita dilaporkan diperkosa di dekat lokasi Perlindungan PBB untuk rakyat sipil (POC), tempat penampungan sekitar 30 ribu warga sipil.
Kekerasan terhadap kaum perempuan merak terjadi dalam perang saudara di Sudan Selatan dalam dua tahun terakhir. Penyebab utama kekerasan itu antara lain tentara yang punya kekebalan hukum dan kurangnya pasukan perdamaian PBB di lokasi.
Tokoh masyarakat setempat mengatakan kepada wartawan lebih dari 120 perempuan diperkosa dalam beberapa hari sejak bentrokan terjadi. Sejumlah korban yang selamat menceritakan bagaimana tentara menyerang kaum perempuan berdasarkan etnis dan sistematis. Kebanyakan korban berasal dari etnis Nuer, kelompok suku yang berseberangan dengan pemimpin kaum oposisi Riek Machar.
Pasukan PBB Tak Mampu Berikan Perlindungan
Peristiwa pemerkosaan di Ibu Kota Juba itu menggambarkan dua masalah utama yang terjadi negara konflik tersebut: kekerasan terhadap etnis tertentu dan gagalnya pasukan perdamaian PBB melindungi warga sipil.
Koran the Daily mail melaporkan, Rabu (27/7), pada 17 Juli lalu dua tentara berseragam menyeret seorang perempuan di depan gerbang sebelah barat kamp PBB yang hanya berjarak beberapa ratus meter.
Seorang saksi mengungkapkan setidaknya ada 30 tentara perdamaian PBB asal Nepal dan China melihat peristiwa pemerkosaan itu dan hanya diam saja.
"Mereka melihatnya. Semua orang melihat. Perempuan itu menjerit dan menangis tapi tidak seorang pun menolong," kata saksi itu.
Dia dan sejumlah saksi lain tidak mau menjelaskan identitas mereka karena takut diketahui oleh tentara. Insiden pemerkosaan ini hanya sepekan setelah pasukan antipemerintah menyerang Juba dan menewaskan ratusan orang.
Para wanita dan anak-anak berlindung di salah satu kamp pasukan PBB, walau tetap tidak ada jaminan bahwa mereka aman dari serangan pasukan pemerintah Sudan Selatan. (Foto: Istimewa) |
Ketika gencatan senjata diumumkan, kaum hawa mulai mencari makanan di luar kamp PBB yang dihuni sekitar 30 ribu warga sipil yang kebanyakan dari etnis Nuer. Mereka takut akan serangan dari pasukan pemerintah yang kebanyakan dari etnis Dinka. (*)
Sumber: the Guardian/Merdeka.com/Daily mail