Pasukan militer Suriah merayakan kemenangan setelah berhasil menguasai sebuah wilayah dari kelompok pemberontak. (Foto: Farsnews) |
“Rusia bersama dengan Pemerintah Suriah telah mengumumkan koridor kemanusiaan di Ghouta Timur. Namun gerilyawan masih terus menyerang Damaskus, dan memblokade pengiriman bantuan,”GHOUTA -- Pertempuran mematikan dan paling sengit masih terjadi hingga kini di wilayah Ghouta Timur, Suriah. Dalam pertempuran kali ini, kekuatan militer pemerintahan Presiden Suriah Bashar Al-Assad benar-benar dikerahkan sepenuhnya. Damaskus sepertinya ingin menaklukkan kawasan Ghouta yang merupakan benteng terakhir pemberontak tersebut dengan sekali pukul.
Sejumlah kemenangan pun diperoleh, Biro media Pusat Komando Operasi Suriah mengumumkan dalam sebuah pernyataan bahwa pasukan Suriah berhasil mengendalikan sepenuhnya desa Beit Sawa dan daerah Housh Qbaibat, Timur Gouta di Pinggiran Damaskus, menyusul bentrokan sengit dengan para ekstremis yang ditempatkan di sana.
Laporan tersebut muncul saat pasukan pemerintah Suriah melakukan operasi terpisah di desa Masraba dalam upaya untuk merebut kembali setengah Ghouta Timur yang padat penduduknya, dan menimbulkan kerugian yang memalukan bagi militan.
Sumber militer, yang berbicara tanpa menyebut nama, mengatakan bahwa pasukan militer Suriah telah mengambil alih daerah pertanian di sebelah tenggara kota Rihan dan Housh al-Ashary. Pasukan Suriah juga dilaporkan berhasil menguasai kota Jisreen dan wilayah Hawsh al-Dawahira.
Seorang kolonel tentara Suriah yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada jaringan televisi pemerintah bahwa penduduk Ghouta Timur akan kembali ke "pelukan negara" secepat mungkin.
Tentara Suriah dan Rusia di sebuah pos pemeriksaan di dekat kamp Wafideen di Damaskus, Suriah pada 2 Maret 2018. (Foto: Reuters) |
Suriah Kerahkan Taktik Bumi Hangus
Pasukan militer Suriah dengan dibantu para sekutunya seperti Iran, Rusia dan Hizbullah, benar-benar tidak ingin memberikan tempat untuk bernapas bagi para pemberontak dan kelompok ISIS. Suriah menerapkan taktik bumi hangus pada setiap wilayah yang mereka lewati.
Akibatnya, kelompok pemberontak Jaish al-Islam terpaksa menarik pasukannya di dua wilayah utara di Ghouta Timur karena kawalahan menghadapi perang mematikan yang dilancarkan rezim Suriah.
Dalam sebuah pernyataan, kelompok Jaish al-Islam mengatakan bahwa pasukannya telah menarik diri dari posisi di dua wilayah utama di Ghouta Timur, salah satunya Shayfouniya. Taktik “bumi hangus” dijalankan rezim Suriah terhadap kelompok itu ketika sedang berkembang di wilayah kantong utama di Ghouta Timur.
Juru bicara Jaish al-Islam, Hamza Bayraqdar, dalam pernyataan via Telegram mengatakan bahwa pasukannya tak kuasa menghadapi “pemboman histeris” di daerah pertanian.
Kepulan asap membumbung tinggi diantara reruntuhan kota Ghouta, akibat pertempuran antara pasukan militer Suriah melawan kelompok pemberontak dan kubu teroris ISIS. (Foto: istimewa) |
Observatorium mengatakan bahwa pemboman Suriah terhadap Ghouta Timur telah membunuh lebih dari 600 orang sejak 18 Februari 2018. Data PBB menyebutkan, sekitar 400.000 warga sipil terjebak di medan perang di pinggiran Ibu Kota Damaskus, dan lebih dari 550 warga sipil tewas dalam pertempuran di Ghouta Timur sejak pertempuran semakin brutal.
“Sejak Rabu pagi (kemarin), pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad terlibat pertempuran dengan kelompok gerilyawan yang menguasai Ghouta Timur sejak 2013,” demikian keterangan Pemantau Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR).
Korban Sipil dan Upaya Gencatan Senjata
Semakin menggila dan brutalnya pertempuran yang terjadi di Ghouta Timur, mendapat kecaman dunia. Bahkan PBB mendesak kedua kelompok yang bertikai untuk melakukan gencatan senjata sementara, sebagai jalan untuk warga sipil yang terjebak, melakukan evakuasi ke tempat yang aman.
Suriah dengan diprakarsai Moskow pun menerima usulan tersebut. Rusia telah menyerukan gencatan senjata untuk menciptakan “koridor kemanusiaan” di Ghouta Timur. Namun, menurut Moskow, pemberontak telah mencegah warga sipil untuk pergi dari medan perang.
“Rusia bersama dengan Pemerintah Suriah telah mengumumkan koridor kemanusiaan di Ghouta Timur. Namun gerilyawan masih terus menyerang Damaskus, dan memblokade pengiriman bantuan,” ungkap Menteri Luar Negeri Rusia Sergi Lavrov dilansir Reuters.
Rusia juga mengusulkan sebuah inisiasi bahwa genjatan senjata harus dilakukan selama lima jam dari pukul 09.00 hingga 14.00, sehingga memberikan kesempatan kepada warga sipil untuk berlindung.
Namun, kesepakatan itu gagal setelah terjadi pengeboman pada hari pertama pembelakuan gencatan senjata pada Selasa (27/2). Saling tuding pun terjadi antara Suriah yang diwakili Rusia dan kelompok pemberontak di sisi Amerika Serikat (AS).
Pemberontak Suriah menyangkal telah merusak waktu genjatan senjata. Sedangkan Departemen Luar Negeri AS menyebut, ide “koridor kemanusiaan” yang diserukan Rusia sebagai “lelucon”.
Batalnya genjatan senjata, membuat pemerintah Suriah marah dan semakin meningkatkan serangan. Penduduk Ghouta Timur mengungkapkan jet tempur pemerintah terus melancarkan serangan sejak kemarin pagi. Target utama serangan tersebut berada di tiga kota, termasuk Douma, Misraba dan Harasta.
Warga Ghouta Timur menyebutkan Pemerintah Suriah hanya meluncurkan permainan psikologis. Mereka meminta pihak ketiga untuk mengimplementasikan gencatan senjata, bukan Rusia atau pun Suriah.
“Pengeboman masih saja terjadi sejak semalam. Tidak ada evakuasi warga, tidak ada bantuan medis, tidak ada bantuan kemanusiaan, tidak ada,” kata penduduk Ghouta Timur yang tak disebutkan namanya kepada Al Jazeera.
sedangkan menurut juru bicara Menteri Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, Rusia ikut menyukseskan gencatan senjata. Tapi, dia meminta negara lainnya untuk mendukung langkah itu. Rusia juga menuding kelompok pemberontak telah memblokade bantuan kemanusiaan dan menghalangi evakuasi warga sipil yang ingin meninggalkan Ghoutan.
“Rusia masih menilai operasi melawan gerilyawan sejak rencana gencatan senjata didukung Dewan Keamanan PBB,” paparnya.
Ghouta Timur yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa merupakan target utama serangan tentara Presiden Bashar al-Assad. Sebelumnya pada 18 Februari silam, pemerintah dan aliansi menggelar pengeboman besar-besaran dalam konflik tujuh tahun di Ghouta Timur. Insiden itu mengakibatkan ratusan orang tewas, dan memicu Dewan Keamanan PBB menyerukan resolusi gencata senjata selama 30 hari.
Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan dalam sebuah pertemuan darurat Dewan HAM PBB pada hari Jumat lalu, bahwa peristiwa di Ghouta Timur kemungkinan termasuk kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.(*)
Sumber: islamtimes/aljazeera/reuters