"Masalah ASEAN di sini, tidak ada pemimpin kuat. Ketidakhadiran Soeharto, ketidakhadiran Mahathir Mohammad, hanya menjadikan ASEAN ini sebagai tempat untuk konsultasi. Bukan lagi suatu kekuatan bersama untuk menghadapi China,"JAKARTA -- Tindakan militer China yang sering melakukan pelanggaran wilayah dan pencurian ikan di perairan Natuna, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya konflik senjata antara TNI dengan angkatan perang China.
Namun, disaat China semakin memperkuat cengkramannya di Laut China Selatan, Indonesia justru dianggap mengalami krisis kepemimpinan akibat lemahnya pemerintahan saat ini dalam menyikapi berbagai hal.
Pengamat Budaya dan Politik China dari Universitas Indonesia, Abdullah Dahana menilai kepala negara dan pemerintahan yang ada di ASEAN, termasuk di Indonesia, terlalu lemah untuk menantang China.
Apalagi jika bicara sengketa di Laut China Selatan. Hasil pertemuan menteri luar negeri ASEAN (AMM) dan mitra wicaranya (ARF) di Vientiane, Laos kemarin juga tidak berdaya menghadapi klaim sepihak dari China di LCS.
"Masalah ASEAN di sini, tidak ada pemimpin kuat. Ketidakhadiran Soeharto, ketidakhadiran Lee Kuan Yew, ketidakhadiran Mahathir Mohammad, hanya menjadikan ASEAN ini sebagai tempat untuk konsultasi. Bukan lagi suatu kekuatan bersama untuk menghadapi China," kata Dahana dalam diskusi bertajuk 'Kita dan Sengketa Laut China Selatan' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (30/7/16).
Dahana justru khawatir dengan sikap lemah ASEAN ini, bisa saja anggotanya di masa mendatang menuntut keluar. Sebut saja yang paling ngotot menghadapi China di LCS, Filipina dan Vietnam.
"Siapa tahu ya seperti yang terjadi di Uni Eropa. Jika di Inggris Raya ada Brexit, di ASEAN nanti ada Vietxit atau Filipinxit. Mereka akan keluar dari ASEAN karena merasa tidak mendapatkan dukungan dari organisasi yang menaungi negara-negara Asia Tenggara tersebut.," tukasnya.
Bahkan dua negara lain yang punya masalah dengan Negeri Panda di Laut China Selatan, yakni Malaysia dan Brunei Darussalam tidak turut unjuk suara. "Begitu juga dengan Indonesia yang sempat bermasalah dengan China soal Natuna, diam-diam saja tuh," pungkas Abdullah.
Abdullah beranggapan bahwa Presiden Joko Widodo tidak memiliki sikap kepemimpinan dan pengetahuan yang kuat mengenai strategi perang dan diplomasi luar negeri, hal ini sangat bertolak belakang dibandingkan saat Indonesia di era presiden Soeharto yang sangat disegani di kawasan bahkan dunia.
Sengketa Natuna Meluas Jadi Masalah Kedaulatan
Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Purnawirawan Ahmad Sucipto menyarankan jangan sampai sengketa klaim China atas perairan Natuna bergeser menjadi permasalahan politik bahkan masalah kedaulatan.
Armada kapal perang China, saat melakukan latihan militer di Laut China Selatan. |
Sebelumnya, Juni 2016 terjadi penangkapan sejumlah kapal nelayan China oleh satuan TNI AL. Hal ini bahkan memicu protes oleh pemerintah Beijing. Mereka mengatakan kawasan penangkapan itu sebagai zona penangkapan ikan tradisional nelayan China.
"Saya kira, kita ada clash menyangkut penangkapan kapal ikan China yang melanggar zona ekonomi ekslusif dan kebijakan IUU Fishing Indonesia," ungkap dia.
Ketika diberikan peringatan, China pun bereaksi. "Mereka bilang Indonesia dengan China ada masalah overlapping klaim di Laut China Selatan. Kata-kata itu (tumpang tindih) sebelumnya enggak pernah muncul," tuturnya.
Ahmad menjelaskan, ada perubahan pandangan. Indonesia tidak bisa lagi mengatakan tidak memihak (non alignment). Sehingga masalah tumpang tindih pada batas garis imajiner Nine Dash Line yang ditetapkan China dengan ZEE Indonesia harus segera diselesaikan.
Kebijakan Indonesia Lemah di Laut China Selatan
Terkait polemik ini, pengamat pertahanan, Rahakundini Bakrie mengatakan, Indonesia seharusnya bisa memainkan peran politik luar negeri non-alignment (tidak memihak) dengan sebaik-baiknya. Jangan malah karena tidak berpihak, Indonesia lantas boleh tenggelam di tengah-tengah Laut China Selatan.
China secara perlahan-lahan melakukan perluasan wilayah dengan cara membuat pulau buatan di Laut China Selatan. |
"Justru kita harus tentukan sikap sebagai non-alignment ini loh Indonesia. Bagian barat dan selatan menjadi bagian kerjasama kita dengan China apakah perdagangankah, militerkah. Tapi di Timur kita enggak ada pilihan. Kita harus kerjasama dengan Australia karena kerjasama lebih ke Pasifik," katanya.
Bakrie menambahkan, "sekali lagi saya melihat jangan kita sampai ter-drive seolah-olah China itu mengancam kawasan. China sedang membangun kekuatan yang sudah dia proyeksikan sejak dulu. Bedanya China itu GBHN-nya diikuti terus. Mau presidennya ganti 10 kali tetap aja dia mau bangun blue water navy pada 2050. Enggak geser, enggak tiba-tiba jadi 2100," ungkapnya.
Ambisi China dan Pengakuan Dunia
Setelah Filipina mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) dan dimenangkan pengadilan Den Haag tersebut, China justru semakin memperkuat kehadiran militernya di LCS.
Berdasarkan hasil putusan tersebut, China terbukti telah melanggar kedaulatan Filipina di LCS. Sembilan garis putus-putus (nine dash-line) yang diklaim terdapat dalam perkamen bersejarah China juga tidak dapat diakui kebenarannya.
Pengamat Militer dan Pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie. (Foto: Istimewa) |
Persoalannya, diperut bumi di bawah laut ini tersimpan cadangan gas dan minyak terbesar di dunia. Berdasarkan data, di wilayah ini salah satunya terdapat blok gas dan minyak, Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan 500 juta barel.
Total potensi gas bahkan diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik. Cadangan ini tidak akan habis dieksplorasi 30 tahun ke depan. Fakta yang ada, Negeri Tirai Bambu itu sudah memasang rig pengeboran di kawasan yang diperebutkan dengan Vietnam dan sempat memicu gesekan. (*)
Sumber : Sindonews/Antara/Okezone