Setelah
runtuhnya Uni Soviet, sempat muncul harapan akan terciptanya perdamaian
yang lebih lama di Asia-Pasifik, karena kawasan ini sebelumnya
sempat menjadi arena pertarungan dua negara adidaya, antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet, untuk menanamkan hegemoni masing-masing.
Namun, perdamaian itu sepertinya tidak bertahan lama. Kebangkitan ekonomi China saat ini yang diikuti dengan peningkatan kekuatan militernya menjadi ancaman baru di kawasan Asia.
China mengklaim hampir 90 persen kawasan perairan Laut China Selatan yang juga merampas sejumlah perairan yang masuk dalam kedaulatan beberapa negara anggota ASEAN. Konflik laut China Selatan menjadi pemicu terjadinya perlombaan militer di kawasan. Amerika Serikat telah memindahkan 60 persen kekuatan tempurnya ke kawasan ini.
Australia dengan dibantu Inggris dan AS juga mulai ikut ambil bagian di LCS, yang menganggap China sudah mengganggu jalur pelayaran internasional di LCS. Perlombaan militer sudah dimulai, setidaknya Vietnam, Taiwan, Malaysia, Singapura, Filipina dan bahkan Brunai, saat ini sudah mulai memenuhi gudang persenjataannya dengan alutsista terbaru dan tercanggih.
Bahkan Singapura dan Australia sudah di depan mata akan membeli pesawat tempur F-35 dari Amerika Serikat yang merupakan pesawat tempur generasi kelima paling canggih saat ini. Lalu dimana posisi Indonesia?
Pemerintahan
Presiden Joko Widodo selama ini selalu berkoar-koar dalam konflik Laut
China Selatan, tapi pada kenyataannya armada perang China sudah
berkali-kali melakukan pelanggaran di kawasan Laut Natuna yang merupakan
wilayah kedaulatan Indonesia.
Mabes TNI dan tentu saja TNI AU bukan tidak resah dengan kondisi ini, namun setiap berbicara masalah alutsista TNI yang serba kekurangan, selalu terbentur alasan masalah dana.
Bahkan program MEF II dan MEF III yang sempat dicanangkan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi.
Para pengamat militer sudah berkali-kali mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh berdiam diri dalam kondisi ini. Indonesia harus memulai memperkuat armada militernya. Memiliki puluhan pesawat tempur F-16 yang sudah tua bukanlah tandingan melawan skuadron pesawat tempur China di laut Natuna.
Begitu pun kita tentu saja tidak boleh lupa dengan potensi ancaman dari Australia, jika Australia jadi memperkuat militernya dengan pesawat tempur siluman F-35 Lightning, maka memiliki satu skuadron pesawat tempur campuran Sukhoi SU-27 dan SU-30, sama dengan menjadi sasaran empuk pesawat tempur Australia.
Indonesia mungkin belum lupa saat Australia berusaha mempermalukan TNI AU saat Australia berencana mengirim pesawat pembom ke Timor Timur. Bahkan Australia sempat berpikir untuk membom Jakarta dengan F-111 Aadvark, ketika pasukan Untaet yang hendak mendarat di Timor Timur pasca jejak pendapat 1999, hendak dihalangi militer Indonesia.
Jika
serangan itu terjadi, bombardir yang mereka lakukan terhadap obyek
vital, besar kemungkinan akan mendapatkan hasil, meski beberapa fighter
atau bomber mereka berhasil dirontokkan fighter Indonesia.
Namun mirisnya pada malam hari setelah kejadian tersebut, Lanud El Tari Kupang kedatangan tamu tak di undang yaitu 8 unit F/A-18 Hornet Australia yang terbang diatas Lanud El Tari Kupang tanpa bisa diusir oleh kekuatan udara Indonesia.
Memang 8 unit F/A-18 Hornet Australia ini memang tidak melakukan apapun selain fly pass tanpa izin diatas pangkalan militer Indonesia. Namun jelas ini adalah sebuah bentuk penghinaan terhadap kedaulatan udara Indonesia.
Lepasnya Timor Timur dari kedaulatan Indonesia hampir 100 persen adalah hasil dukungan Australia dengan membantu para pemberontak Fretilin. Australia-lah yang mengomandoi pembentukan The International Force of East Timor (Interfet) dengan dibantu Amerika Serikat, Australia, Inggris, Prancis dan Jepang. Kedekatan hubungan Indonesia dan Australia pada masa Orde Baru membuat TNI AU saat itu menjadi terlena dan abai untuk memperkuat pertahanan di Timur Indonesia.
Australia yang awalnya dianggap sebagai tetangga yang sangat baik ternyata menikam dari belakang dan menelanjangi Indonesia di depan negara-negara lain. Sejumlah langkah mendesak yang harus dilakukan Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI diantaranya adalah:
1. Menempatkan 2 Skuadron Pesawat Tempur di Papua
Wilayah Timur Indonesia khususnya Papua selama ini menjadi wilayah yang penjagaannya. Hal ini dikarenakan kurangnya sistem radar dan pesawat tempur yang dimiliki TNI dalam mengawasi dan menjaga wilayah udara Papua.
Padahal
hingga kini sejumlah negara asing masing berupaya mengganggu Papua agar
lepas dari Indonesia dengan menggunakan tangan kelompok separatis
Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Menempatkan dua skuadron pesawat tempur di Biak dan Merauke menjadi suatu hal yang krusial untuk mewaspadai pergerakan militer Amerika Serikat dan Australia. Seperti diketahui Amerika Serikat telah menempatkan 20.000 pasukan marinirnya di Darwin, Australia, dan berbatasan langsung dengan Indonesia.
2. Menempatkan 1 Skuadron Pesawat Tempur di Kupang
Lanud El Tari Kupang yang dari segi Geografis sangat strategis untuk menjadi benteng pertahanan udara Indonesia dari ancaman potensial dari Australia. Lanud El Tari Kupang lokasinya sangat berdekatan dengan markas militer Australia di Darwin, dimana dilokasi tersebut terdapat markas Angkatan Udara Australia RAAF Base Darwin yang dilengkapi dengan puluhan pesawat tempur F/A-18 E/F Super Hornet dan E/A-18 Growler yang dikhususkan untuk peperangan elektronika.
Tidak jauh dari Darwin, Australia juga memiliki Pangkalan Angkatan Udara di Tindall yang rencananya akan dilengkapi dengan 1 Skuadron pesawat tempur F-35 A. Karena kecanggihan alutsista Australia yang terdapat disana selain F/A-18 E/F Super Hornet, Australia juga sudah mengoperasikan E/A-18 Growler yang merupakan derivative Super Hornet yang dikhususkan untuk peperangan elektronik. E/A-18 Growler ini memiliki kemampuan untuk mengacaukan radar militer Indonesia yang ada di sekitarnya.
3. Menempatkan 1 Skuadron Pesawat Tempur di Natuna
Untuk menghadapi ekspansi militer China, Indonesia harus bergerak cepat membangun sistem pertahanan di kepulauan Natuna. Sejumlah insiden pelanggaran wilayah yang dilakukan China di zona ekonomi ekslusif Natuna mengisyaraktan bahwa China tetap mengklaim sebagian perairan natuna walaupun Indonesia sudah melakukan protes berkali-kali. Setidaknya dengan menempatkan satu skuadron pesawat tempur di Natuna bisa membatasi pergerakan militer China di kawasan itu.
4. 3 Baterai sistem Pertahanan Udara S-400
Indonesia termasuk negara yang memiliki sistem pertahanan udara paling lemah di Asia. Padahal letak posisi Indonesia yang berada di jalur persilangan dan pelayaran dunia menjadikan Indonesia rentan dari penyusupan militer asing.
Untuk mempertahankan objek-objek vital seperti pangkalan militer,
bandara dan lain-lain Indonesia saat ini hanya memiliki sistem
pertahanan udara jarak pendek Oerlikon skyshield buatan Rheinmetall,
itupun jumlahnya sangat terbatas dan tidak semua pangkalan militer
ditanam sistem pertahanan ini.
Namun, dengan mengakuisisi sistem pertahanan udara canggih S-400 buatan Rusia, maka akan mampu mengcover seluruh wilayah Indonesia dengan baik. Indonesia setidaknya harus mengakuisisi tiga sistem pertahanan udara S-400 yaitu untuk wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur.
5. Satu Skuadron pesawat pembom
6. 24 Kapal Selam
7. 300 Main Battle Tank
8. 60 radar militer
9. 16 kapal perang fregat
10. 8 Kapal perang penjelajah
11. 18 Destroyer
12. 250 kapal cepat rudal
Mengingat masih banyaknya kekurangan alutsista yang dimiliki Indonesia, sudah saatnya pemerintah dan DPR RI mulai serius menutupi kekosongan tersebut. Jangan sampai sejarah kembali terulang, disaat Indonesia lengah dan lemah, maka musuh siap menerkam setiap saat.
Setidaknya ancaman militer China di Natuna dan bantuan Australia dan Amerika Serikat kepada separatis OPM di Papua menjadi sinyal kuat bahwa cepat atau lambat bukan tidak mungkin Indonesia akan terlibat konfrontasi langsung dengan negara-negara tersebut. (*)
Namun, perdamaian itu sepertinya tidak bertahan lama. Kebangkitan ekonomi China saat ini yang diikuti dengan peningkatan kekuatan militernya menjadi ancaman baru di kawasan Asia.
China mengklaim hampir 90 persen kawasan perairan Laut China Selatan yang juga merampas sejumlah perairan yang masuk dalam kedaulatan beberapa negara anggota ASEAN. Konflik laut China Selatan menjadi pemicu terjadinya perlombaan militer di kawasan. Amerika Serikat telah memindahkan 60 persen kekuatan tempurnya ke kawasan ini.
Australia dengan dibantu Inggris dan AS juga mulai ikut ambil bagian di LCS, yang menganggap China sudah mengganggu jalur pelayaran internasional di LCS. Perlombaan militer sudah dimulai, setidaknya Vietnam, Taiwan, Malaysia, Singapura, Filipina dan bahkan Brunai, saat ini sudah mulai memenuhi gudang persenjataannya dengan alutsista terbaru dan tercanggih.
Bahkan Singapura dan Australia sudah di depan mata akan membeli pesawat tempur F-35 dari Amerika Serikat yang merupakan pesawat tempur generasi kelima paling canggih saat ini. Lalu dimana posisi Indonesia?
Kapal Induk China saat sedang berpatroli di kawasan Laut China Selatan. (Foto: istimewa) |
Mabes TNI dan tentu saja TNI AU bukan tidak resah dengan kondisi ini, namun setiap berbicara masalah alutsista TNI yang serba kekurangan, selalu terbentur alasan masalah dana.
Bahkan program MEF II dan MEF III yang sempat dicanangkan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi.
Para pengamat militer sudah berkali-kali mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh berdiam diri dalam kondisi ini. Indonesia harus memulai memperkuat armada militernya. Memiliki puluhan pesawat tempur F-16 yang sudah tua bukanlah tandingan melawan skuadron pesawat tempur China di laut Natuna.
Begitu pun kita tentu saja tidak boleh lupa dengan potensi ancaman dari Australia, jika Australia jadi memperkuat militernya dengan pesawat tempur siluman F-35 Lightning, maka memiliki satu skuadron pesawat tempur campuran Sukhoi SU-27 dan SU-30, sama dengan menjadi sasaran empuk pesawat tempur Australia.
Indonesia mungkin belum lupa saat Australia berusaha mempermalukan TNI AU saat Australia berencana mengirim pesawat pembom ke Timor Timur. Bahkan Australia sempat berpikir untuk membom Jakarta dengan F-111 Aadvark, ketika pasukan Untaet yang hendak mendarat di Timor Timur pasca jejak pendapat 1999, hendak dihalangi militer Indonesia.
Pesawat tempur F/A-18F Super Hornet Angkatan Udara Australia. (foto: istimewa) |
Namun mirisnya pada malam hari setelah kejadian tersebut, Lanud El Tari Kupang kedatangan tamu tak di undang yaitu 8 unit F/A-18 Hornet Australia yang terbang diatas Lanud El Tari Kupang tanpa bisa diusir oleh kekuatan udara Indonesia.
Memang 8 unit F/A-18 Hornet Australia ini memang tidak melakukan apapun selain fly pass tanpa izin diatas pangkalan militer Indonesia. Namun jelas ini adalah sebuah bentuk penghinaan terhadap kedaulatan udara Indonesia.
Lepasnya Timor Timur dari kedaulatan Indonesia hampir 100 persen adalah hasil dukungan Australia dengan membantu para pemberontak Fretilin. Australia-lah yang mengomandoi pembentukan The International Force of East Timor (Interfet) dengan dibantu Amerika Serikat, Australia, Inggris, Prancis dan Jepang. Kedekatan hubungan Indonesia dan Australia pada masa Orde Baru membuat TNI AU saat itu menjadi terlena dan abai untuk memperkuat pertahanan di Timur Indonesia.
Australia yang awalnya dianggap sebagai tetangga yang sangat baik ternyata menikam dari belakang dan menelanjangi Indonesia di depan negara-negara lain. Sejumlah langkah mendesak yang harus dilakukan Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI diantaranya adalah:
1. Menempatkan 2 Skuadron Pesawat Tempur di Papua
Wilayah Timur Indonesia khususnya Papua selama ini menjadi wilayah yang penjagaannya. Hal ini dikarenakan kurangnya sistem radar dan pesawat tempur yang dimiliki TNI dalam mengawasi dan menjaga wilayah udara Papua.
Daya jangkau pesawat tempur Australia untuk mencapai dan menyerang Indonesia. (Gambar: istimewa) |
Menempatkan dua skuadron pesawat tempur di Biak dan Merauke menjadi suatu hal yang krusial untuk mewaspadai pergerakan militer Amerika Serikat dan Australia. Seperti diketahui Amerika Serikat telah menempatkan 20.000 pasukan marinirnya di Darwin, Australia, dan berbatasan langsung dengan Indonesia.
2. Menempatkan 1 Skuadron Pesawat Tempur di Kupang
Lanud El Tari Kupang yang dari segi Geografis sangat strategis untuk menjadi benteng pertahanan udara Indonesia dari ancaman potensial dari Australia. Lanud El Tari Kupang lokasinya sangat berdekatan dengan markas militer Australia di Darwin, dimana dilokasi tersebut terdapat markas Angkatan Udara Australia RAAF Base Darwin yang dilengkapi dengan puluhan pesawat tempur F/A-18 E/F Super Hornet dan E/A-18 Growler yang dikhususkan untuk peperangan elektronika.
Tidak jauh dari Darwin, Australia juga memiliki Pangkalan Angkatan Udara di Tindall yang rencananya akan dilengkapi dengan 1 Skuadron pesawat tempur F-35 A. Karena kecanggihan alutsista Australia yang terdapat disana selain F/A-18 E/F Super Hornet, Australia juga sudah mengoperasikan E/A-18 Growler yang merupakan derivative Super Hornet yang dikhususkan untuk peperangan elektronik. E/A-18 Growler ini memiliki kemampuan untuk mengacaukan radar militer Indonesia yang ada di sekitarnya.
3. Menempatkan 1 Skuadron Pesawat Tempur di Natuna
Untuk menghadapi ekspansi militer China, Indonesia harus bergerak cepat membangun sistem pertahanan di kepulauan Natuna. Sejumlah insiden pelanggaran wilayah yang dilakukan China di zona ekonomi ekslusif Natuna mengisyaraktan bahwa China tetap mengklaim sebagian perairan natuna walaupun Indonesia sudah melakukan protes berkali-kali. Setidaknya dengan menempatkan satu skuadron pesawat tempur di Natuna bisa membatasi pergerakan militer China di kawasan itu.
4. 3 Baterai sistem Pertahanan Udara S-400
Indonesia termasuk negara yang memiliki sistem pertahanan udara paling lemah di Asia. Padahal letak posisi Indonesia yang berada di jalur persilangan dan pelayaran dunia menjadikan Indonesia rentan dari penyusupan militer asing.
Pesawat tempur 'rongsokan' F-16 TNI AU terbakar hebat saat sedang akan menjalani latihan tempur rutin. (foto: istimewa) |
Namun, dengan mengakuisisi sistem pertahanan udara canggih S-400 buatan Rusia, maka akan mampu mengcover seluruh wilayah Indonesia dengan baik. Indonesia setidaknya harus mengakuisisi tiga sistem pertahanan udara S-400 yaitu untuk wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur.
5. Satu Skuadron pesawat pembom
6. 24 Kapal Selam
7. 300 Main Battle Tank
8. 60 radar militer
9. 16 kapal perang fregat
10. 8 Kapal perang penjelajah
11. 18 Destroyer
12. 250 kapal cepat rudal
Mengingat masih banyaknya kekurangan alutsista yang dimiliki Indonesia, sudah saatnya pemerintah dan DPR RI mulai serius menutupi kekosongan tersebut. Jangan sampai sejarah kembali terulang, disaat Indonesia lengah dan lemah, maka musuh siap menerkam setiap saat.
Setidaknya ancaman militer China di Natuna dan bantuan Australia dan Amerika Serikat kepada separatis OPM di Papua menjadi sinyal kuat bahwa cepat atau lambat bukan tidak mungkin Indonesia akan terlibat konfrontasi langsung dengan negara-negara tersebut. (*)