Konsep Kebebasan Navigasi Amerika Serikat Ancam Kedaulatan NKRI - Jalur Militer

Konsep Kebebasan Navigasi Amerika Serikat Ancam Kedaulatan NKRI

Armada kapal induk Amerika Serikat saat menerobos perairan Bawean. Peristiwa Bawean adalah salah satu kasus pelanggaran kedaulatan terbesar yang dilakukan AS di dalam wilayah NKRI. saat itu, TNI AU tidak mampu berbuat apa-apa, saat pesawat tempur F/A 18 Super Hornet milik AS, mengunci pesawat tempur tua F-16 milik TNI AU yang ingin mengusir kapal induk AS dari perairan Indonesia. Saat itu, AS menyatakan menolak melakukan pelanggaran kedaulatan, karena menganggap bahwa perairan Bawean adalah kawasan laut internasional yang bisa dilalui armada militer negara manapun. (Foto: istimewa)
"China dan AS dapat saja membawa kapal perang mereka ke daerah perairan Indonesia dengan alasan kebebasan navigasi,”
JAKARTA -- Hingga kini, Amerika Serikat (AS) adalah satu-satunya negara kuat yang tidak mengakui hukum laut yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS). Karena tidak pernah mengakui, AS hingga kini bisa bebas semaunya memasuki perairan yang masuk dalam kedaulatan negara lain, dengan seenaknya. AS beralasan bahwa kebijakan mereka adalah mengakui kebebasan navigasi internasional

Konsep kebebasan bernavigasi (FON)yang terus dijalankan oleh AS itu, mendapat kritik keras. Sebab, konsep tersebut dianggap dapat merugikan kepentingan dan kedaulatan negara lain, termasuk Indonesia, terutama di kawasan sengketa seperti di Laut China Selatan.

Dalam acara diskusi berjudul "The Hague's South China Sea Ruling: Legal and Political Implications" Deputi Konselor Politik dari Kedubes AS di Jakarta, Aaron Jansen, dan Profesor Hukum Konstitusional dari Sekolah Hukum Maurice A. Deane, Hofstra University, AS, Julian Ku, mengatakan, penegakan kebebasan navigasi adalah suatu hal yang diperlukan. Hal ini disebabkan tidak ada satu negara yang dapat membatasi pergerakan suatu negara untuk melakukan patroli di wilayah perairan internasional khususnya di LCS.

Program kebebasan navigasi dalam konteks Laut China Selatan (LCS) adalah kapal-kapal (patroli) dapat bebas melakukan navigasi dekat area perairan LCS. Dengan demikian, AS dapat bebas meluncurkan kapal perang di area tersebut. Bahkan, AS sempat menggelar kapal perang di LCS dan membuat China meradang.

Menanggapi hal tersebut, pakar hukum laut internasional, Hasyim Jalal melontarkan kritik keras. Menurutnya, konsep yang diketengahkan oleh kedua pembicara dapat merugikan dan bisa saja membahayakan Indonesia.

"Apa yang mereka maksud dengan kebebasan navigasi? Apakah melanggar batas perairan negara lain itu yang mereka maksud?" ujar Hasyim Jalal, seperti dilansir Okezone.com, (6/9/16).

Menurut Hasyim, konsep kebebasan bernavigasi dapat merugikan Indonesia. Hasyim menyebut, salah satu contoh kebebasan navigasi dapat merugikan Indonesia adalah pelanggaran batas wilayah.

"China dan AS dapat saja membawa kapal perang mereka ke daerah perairan Indonesia dengan alasan kebebasan navigasi. Jika ada orang masuk ke rumah Anda tanpa izin. Apa yang akan Anda lakukan? Kalau saya akan langsung menonjok mereka,” kata Hasyim.

Terkait hal ini, Hasyim mengatakan Indonesia beserta dengan negara ASIAN telah mengajukan garis batas (guide lines) navigasi. Hal ini dibuat agar tidak terjadi konflik perairan antarnegara. Bahkan, Jepang telah mengajukan konsep tersebut kepada Dewan Keamanan PBB. Namun, PBB tidak bisa berbuat banyak. Terlebih lagi, AS menolak garis navigasi yang diajukan pada PBB dengan alasan kebebasan navigasi.

Wilayah perairan Indonesia dalam konsep UNCLOS menjadi satu kesatuan yang utuh, serta menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya. (Gambar: himapikani.org)
Aturan kebebasan berlayar, tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS). Namun, AS bukan merupakan pihak yang ikut meratifikasi hukum tersebut. Bahkan Amerika Serikat tidak hingga saat ini tidak mengakui wilayah teritori lautan Indonesia yang telah diakui UNCLOS. Itulah sebabnya armada kapal perang maupun pesawat negara adidaya itu sering melakukan pelanggaran kedaulatan di wilayah Indonesia.

Melalui Konfrensi PBB tentang Hukum Laut Internasional ke-3 tahun 1982, pokok-pokok negara kepulauan berdasarkan Archipelago Concept negara Indonesia diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea) atau konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Indonesia kemudian meratifikasi Unclos 1982 melalui UU No.17 th.1985, dan sejak 16 November 1993 Unclos 1982 telah diratifikasi oleh 60 negara sehingga menjadi hukum positif (hukum yang berlaku di masing-masing negara). Berlakunya Unclos 1982 berpengaruh dalam upaya pemanfaatan laut bagi kepentingan kesejahteraan seperti bertambah luas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Landas Kontinen Indonesia.

Indonesia hingga kini terus mendesak dan mengimbau agar AS segera meratifikasi UNCLOS, karena dengan meratifikasi UNCLOS, AS dapat menunjukkan komitmennya terhadap keamanan laut. Selain itu, kejelasan komitmen AS dalam masalah laut juga bisa dipertanggungjawabkan.

Sebab, jika suatu negara bukan bagian dari konvensi hukum laut, jika negara itu melakukan pelanggaran, maka tidak bisa gugat melalui proses peradilan yang diatur dalam hukum laut. (*)
ads 720x90

#Tags

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Comment
Disqus