"Mereka menjadi gila karena kita membuat kesepakatan S-400. Apa yang harus kita lakukan, menunggu mereka? Kita akan mengambil semua tindakan untuk memperkuat keamanan,"ANKARA -- Hubungan negara-negara Barat dengan Turki semakin memburuk setelah Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan akhirnya memutuskan untuk membeli misil sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia. Gelombang pertama pengiriman S-400 akan dilakukan Rusia dalam waktu dekat.
Negosiasi Turki dan Rusia untuk pembelian sistem anti-rudal S-400 sendiri terungkap sejak bulan November tahun lalu. Turki mulai melirik tameng rudal mutakhir Moskow itu setelah pada tahun 2015 Ankara membatalkan kontrak pembelian sistem anti-rudal FD-2000 China senilai USD3,4 miliar.
Turki mengungkapkan, alasan mengapa mereka akhirnya membeli sistem pertahanan udara buatan Rusia, dan bukan sistem pertahanan buatan Amerika Serikat (AS) atau negara anggota NATO lainnya, karena hanya Rusia yang bersedia untuk menjual sistem pertahanan udara mereka kepada Turki.
Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu menjelaskan, AS dan negara anggota NATO lainnya menolak menjual persenjataan canggih ke Turki. Menurut Ankara, Turki tidak diberikan sistem pertahanan dengan kecanggihan serupa dari AS maupun sekutu NATO-nya yang lain. Sedangkan Rusia bahkan menawarkan untuk melakukan produksi bersama misil pertahanan canggih tersebut.
"Kami sangat membutuhkannya, karena kami tidak memiliki sistem pertahanan udara. Kami bahkan memiliki masalah dengan membeli senapan sederhana dari AS, karena kekhawatiran Kongres. Kami harus membelinya dari orang lain," ucap Cavusoglu, seperti dilansir Russia Today pada Minggu (11/3).
Presiden Turki Tayyip Erdogan menegaskan, Turki berhak memperkuat pertahanan mereka, demi menjaga keamanan negara. Erdogan menyatakan, negara-negara Barat, terlebih mereka yang tergabung dengan NATO, merasa panik akan rencana pembelian S-400. Dia lalu mengatakan, jika NATO tidak bisa memberikan alternatif lain, maka sebaiknya mereka diam.
Pemimpin negara anggota NATO berpose untuk sebuah foto saat upacara pembukaan markas baru aliansi di Brussels, Belgia, 25 Mei 2017. (Foto: dailysabah.com) |
Sistem pertahanan udara S-400 dapat membawa tiga jenis rudal yang berbeda yang mampu menghancurkan sasaran udara pada jarak pendek hingga jarak sangat jauh. Senjata ini dirancang untuk melacak dan menghancurkan berbagai jenis target udara, dari pesawat pengintai hingga rudal balistik.
Amerika Serikat 'Ngamuk' dan Lontarkan Ancaman
Keputusan Turki dengan membeli misil S-400 mendapat tentangan keras dari negara-negara anggota pakta pertahanan NATO. Bahkan Amerika Serikat menyatakan tidak menutup kemungkinan akan memberikan sanksi tertentu untuk menghukum 'kebandelan' Turki tersebut.
AS dalam beberapa pekan terakhir dilaporkan tengah menggodok rencana untuk menjatuhkan sanksi kepada Turki. Juli lalu, Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat (AS) Joseph Dunford menyatakan, jika Turki benar-benar membeli sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia, hal itu akan menjadi perhatian utama AS.
Sedangkan markas pertahanan AS, Pentagon, kepada Deutsche Welle menyampaikan, Turki telah merusak skema sistem pertahanan yang selama ini telah dibangun oleh AS dan NATO untuk menghadapi ancaman dari negara-negara musuh seperti Rusia, China, Iran dan Korea Utara.
Juru bicara Pentagon, Kapten Jeff Davis menjelaskan, hampir seluruh negara-negara anggota NATO menggunakan senjata dari Amerika Serikat atau Eropa Barat. Mereka tidak dilatih mengoperasikan senjata produksi Rusia, termasuk sistem pertahanan udara S-400.
Pasukan Rusia mengisi ulang sistem rudal permukaan-ke-udara S-400 Triumf, dalam pelatihan militer Resimen Rudal Tugas Tempur Zvenigorod 428. (Foto: Mikhail Japaridze / TASS / Getty) |
"Kami ingin sekutu NATO kami ketika membeli senjata bisa berkoordinasi dengan sekutu kami lainnya. Penggunaan senjata Rusia oleh salah satu sekutu NATO dapat menimbulkan kebingungan antara Ankara dengan anggota sekutu lainnya," ujar Davis, Senin, 31 Juli 2017.
Awal pekan ini, Kepala Komando Tertinggi AS-Eropa Curtis Scaparrotti juga mengatakan bahwa AS meminta Turki untuk mengubah keputusannya terkait pembelian sistem rudal S-400 Rusia. Dia memperingatkan bahwa Ankara mungkin akan menghadapi konsekuensi berat dan tak terduga atas tindakan tersebut.
Turkish Heritage Organization dalam laporannya mengenai hubungan kedua negara, juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait jatuhnya sanksi terhadap Turki, walaupun di atas kertas, Turki masih berstatus sebagai sekutu bagi AS dan NATO.
”Ada kekhawatiran bahwa kesepakatan tersebut dapat memicu sanksi AS pada 2018 di bawah ‘Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act’ (CAATSA) yang ditandatangani pada Agustus 2017,” bunyi laporan tersebut yang diterbitkan hari Senin.
Turki Tidak Takut dan Bersumpah Akan Balik Membalas
Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu menegaskan, pihaknya tidak takut dengan rencana AS untuk menjatuhkan sanksi kepada Ankara. Cavusoglu justru melemparkan ancaman balik, dengan menyatakan Turki akan memberikan respon yang sesuai jika sanksi itu jadi dijatuhkan.
Sebuah parade militer untuk memperingati kejayaan ke-Khalifahan Ustmaniyah. (Foto: /sputniknews.com) |
“Amerika Serikat mengancam banyak negara dengan mengatakan; 'Jangan membeli gas dari satu atau negara lain’. Itu tidak berhasil,” lanjut Cavusoglu seperti dilansir Sputnik, Minggu (11/3).
Presiden Recep Tayyip Erdogan juga mengecam AS yang sudah mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada Ankara.
”Biarkan mereka yang mengkritik kita karena membeli S-400 untuk melawan terorisme dengan melihat diri mereka sendiri. Mengapa mereka diam tentang S-300 yang dimiliki Yunani? Dan mereka mengatakan kepada kita bahwa ini adalah langkah yang salah. Aliansi macam apa, jenis solidaritas apa ini? (Aliansi) ini akan terbang, tapi tidak dengan kami,” kata Erdogan.
AS Panik Melihat Kemesraan Hubungan Rusia-Turki
Hubungan Rusia dan Turki dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Hal ini dipicu semakin seringnya Turki melakukan interaksi dengan Rusia terkait konflik dan permasalahan di Suriah. Turki menyatakan, bersama dengan Rusia telah mencapai kemajuan nyata dalam penyelesaian konflik Suriah.
”Dalam satu setengah tahun, kita bersama-sama dengan Rusia mencapai kemajuan dalam memastikan rezim melakukan gencatan senjata dan (penciptaan) zona de-eskalasi untuk menemukan solusi politik (dari konflik Suriah),” imbuh Cavusoglu.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Erdogan saat bertemu dan melakukan konferensi pers bersama di Sochi, Rusia, 3 Mei 2017. (Foto: Thomson / Reuters) |
Selain masalah Kurdi di Suriah, Turki juga berencana akan melakukan transaksi suplai gas alam dengan Rusia. Sebuah laporan yang dilansir Sputnik, Selasa (30/1/2018), menyampaikan, rencana soal proyek pipa gas alam, Ankara berpotensi akan meningkatkan ketergantungan pada pasokan energi dari Rusia.
”Pada tahun 2017, lebih dari 50 persen impor gas alam Turki berasal dari Rusia. Meskipun keinginan Turki untuk melepaskan diri dari energi Rusia, kemajuan pada (proyek) pipa nasional Turk-Stream akan melakukan hal yang sebaliknya pada tahun 2018 dan bahkan dapat memicu sanksi AS,” lanjut laporan organisasi itu.
AS menuduh Rusia terus berupaya mempengaruhi sejumlah sekutu Barat yang salah satunya adalah Turki, untuk merusak soliditas diantara aliansi sekutu, tapi hal ini langsung dibantah oleh Moskow. Rusia malah balik menyindir, yang menganggap AS telah memperlakukan sejumlah negara yang berada dalam pengaruhnya, layaknya seperti seperti menghadapi anak kecil. (*)
Sumber: Russia Today / Sputnik