"Apa yang kita lihat di Negara Bagian Rakhine adalah perampasan tanah oleh militer dalam skala dramatis. Pangkalan baru sedang dibangun untuk menampung pasukan keamanan yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya,"NAYPYITAW -- Pasukan militer Myanmar terus melanjutkan genosida dan pengusiran terencana terhadap etnis muslim Rohingya di tengah semakin kencangnya kecaman masyarakat dunia. Setelah 'membersihkan' warga Rohingya, Myanmar dikabarkan sedang membangun pangkalan militer di atas tanah bekas masjid dan reruntuhan permukiman Rohingya.
Amnesty International sebelumnya melaporkan bahwa lebih dari 350 desa warga Rohingya di Negara Bagian Rakhine hancur karena dibuldoser. Kemudian berdasarkan bukti citra satelit terbaru, militer Myanmar mulai membangun berbagai fasilitas baru di tanah tersebut.
"Jalan bebas hambatan dan tiga fasilitas baru sedang dibangun di tanah tersebut. Dalam satu kasus, warga Rohingya yang masih tinggal diusir secara paksa agar rumah-rumahnya bisa dijadikan pangkalan militer," demikian pernyataan kelompok hak asasi manusia tersebut, dikutip dari laman the Guardian, Senin (12/3).
Amnesty Internasional mengonfirmasi setidaknya terdapat tiga basis militer saat ini yang sedang dibangun di negara bagian Rakhine utara, terletak di dua kota yakni Maungdaw dan Buthidaung. Informasi ini diperoleh setelah menganalisis foto-foto satelit.
Di salah satu desa Rohingya, citra satelit menunjukkan bangunan untuk sebuah pos polisi perbatasan baru muncul di sebelah masjid yang dibongkar paksa baru-baru ini. Setidaknya ada empat masjid yang dibuldoser. Dalam citra setelit, masjid hancur itu digunakan untuk membangun pos polisi perbatasan.
Pembangunan basis pasukan keamanan yang terbesar terletak di kampung Ah Lel Chaung di Buthidaung di mana saksi mata mengatakan bahwa militer secara paksa menggusur warga Rohingya dari area tertentu agar pembangunan infrastruktur bisa dilaksanakan. Banyak dari warga tidak punya pilihan lain kecuali melarikan diri ke Bangladesh.
Kelompok hak asasi tersebut mengatakan bahwa bangunan-bangunan yang tidak rusak pun ikut dibuldoser.
"Apa yang kita lihat di Negara Bagian Rakhine adalah perampasan tanah oleh militer dalam skala dramatis. Pangkalan baru sedang dibangun untuk menampung pasukan keamanan yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya," kata Direktur Respons Krisis Amnesty Tirana Hassan.
Di Desa Inn Din yang dahulu merupakan wilayah multi-etnis, Amnesty mendokumentasikan bagaimana pasukan keamanan dan sekutunya membunuh warga Rohingya dan membakar rumah-rumah mereka pada bulan Agustus dan awal September 2017.
"Orang-orang panik. Tidak ada yang ingin tinggal karena mereka takut akan ada lebih banyak kekerasan yang menimpa mereka," kata seorang pria berusia 31 tahun yang melarikan diri ke Bangladesh pada bulan Januari, Senin (12/3).
Pengungsi Rohingya menunggu sebuah kapal menyeberangi kanal setelah melintasi perbatasan melalui Sungai Naf di Teknaf, Bangladesh, 7 September 2017. (Foto: Mohammad Ponir Hossain / Reuters) |
Namun, Amnesty membantah dan mengatakan bahwa 'pembangunan kembali' tempat tinggal warga Rohingya hanya dalih untuk menempatkan lebih banyak pasukan keamanan dan penduduk Budha lain, agar warga muslim Rohingya yang sudah mengungsi tidak kembali.
Citra satelit juga menunjukkan bagaimana pusat penerimaan pengungsi baru-yang dimaksudkan untuk 'menyambut' kembali penduduk Rohingya dari Bangladesh, dikelilingi pagar keamanan dan terletak dekat dengan wilayah yang memiliki jumlah personel militer dan pasukan keamanan yang banyak. Pusat transit baru untuk menampung pengungsi, Rohingya juga dijaga ketat oleh aparat keamanan.
Amnesty meyakini, Otoritas Myanmar berencana menempatkan dalam jangka waktu lama para pengungsi yang pulang di area yang dijaga militer dan pasukan keamanan untuk membatasi ruang gerak mereka.
Saksi mata juga menjelaskan kepada Amnesty, bagaimana warga Budha tinggal di perkampungan baru yang dibangun dalam beberapa bulan terakhir di tanah dan kebun milik Rohingya yang telah dibakar.
Amnesty juga mengecam kebijakan Myanmar yang dianggap melakukan sistem Apartheid dengan menjadikan etnis penganut Budha sebagai alat untuk menekan dan menindas warga muslim Rohingya. Dan mencurigai bahwa negara itu sedang melakukan kampanye pembersihan etnis atas nama 'pembangunan'.
"Negara Rakhine adalah salah satu daerah termiskin di Myanmar dan investasi pembangunan sangat dibutuhkan. Tetapi, upaya semacam itu harus menguntungkan semua orang terlepas dari etnisitas mereka, tidak memperkuat sistem apartheid yang ada untuk menindas orang-orang Rohingya," kata Tirana.
"Komunitas Internasional, dan khususnya setiap negara pendonor mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa investasi atau bantuan yang mereka berikan tidak mendukung terjadinya pelanggaran HAM. Termasuk kontribusi yang memperkuat sistem diskriminatif itu serta yang memperkecil kemungkinan kembalinya pengungsi, sama dengan membantu kejahatan terhadap kemanusiaan di sana," lanjut Tirana.
Hingga kini, lebih dari 700 ribu penduduk etnis Rohingya terpaksa melarikan diri setelah kekerasan yang dilakukan militer Myanmar sejak tahun 2012.
Etnis minoritas yang sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan itu melarikan diri ke Bangladesh, dan terpaksa harus tinggal di penjara tanpa atap di kamp-kamp pengungsian. Mereka sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. (*)
Sumber: the Guardian