"Agresor harus tahu bahwa pembalasan tidak dapat dihindarkan, bahwa itu akan dihancurkan. Dan kita, para korban agresi, akan pergi ke surga sebagai martir, sementara mereka hanya akan mati, karena mereka tak punya waktu untuk bertobat,"SOCHI -- Menyandang predikat sebagai negara pemilik rudal nuklir terkuat di dunia, tidak membuat pemerintah Rusia gegabah dan sombong dalam bertindak. Bahkan, Moskow menyadari bahwa senjata yang mereka miliki seperti pedang bermata dua yang juga bisa menghancurkan diri mereka sendiri.
Negeri Beruang Merah itu berkomitmen hanya menggunakan rudal nuklir jika keadaan saat mendesak dan mereka tidak punya pilihan lain atasnya.
Hal ini disampaikan Presiden Rusia Vladimir Putin perihal kebijakan pertahanan dan doktrin nuklir Rusia. Menurutnya, jika negaranya dibom nuklir lebih dulu maka Moskow pasti membalas dengan senjata pemusnah massal dan kehidupan di planet Bumi bisa tamat atau berakhir.
Pemimpin Kremlin itu menyampaikan doktrin nuklirnya dalam forum Valdai Discussion Club di Sochi pada hari Kamis (18/10/2018). Dia menjamin senjata nuklir Moskow tidak untuk serangan pre-emptive (pendahuluan), namun digunakan sebagai pembalasan terhadap negara agresor.
"Tentang apakah kita siap, apakah saya siap, untuk menggunakan senjata yang kita miliki, termasuk senjata pemusnah massal, untuk melindungi kepentingan kita. Saya akan mengingatkan Anda apa yang saya katakan, dan saya mengatakan bahwa dalam konsep senjata nuklir kami tidak ada gagasan serangan pre-emptive," katanya.
"Konsep kami adalah respons terhadap serangan pre-emptive. Bagi mereka yang tahu, tidak perlu menjelaskan apa itu, tetapi bagi yang belum tahu saya akan mengatakannya lagi. Ini berarti bahwa kami siap dan akan menggunakan senjata nuklir hanya ketika kami membuat yakin bahwa seseorang, calon agresor, serangan di Rusia, di wilayah kita," ujarnya.
Sebuah rudal nuklir mobile Topol-12M Rusia. (Foto: REUTERS) |
"Agresor harus tahu bahwa pembalasan tidak dapat dihindarkan, bahwa itu akan dihancurkan. Dan kita, para korban agresi, akan pergi ke surga sebagai martir, sementara mereka hanya akan mati, karena mereka tak punya waktu untuk bertobat," paparnya, seperti dikutip Sputnik.
Doktrin nuklir Rusia ini berbeda dengan doktrin nuklir Amerika Serikat (AS). Dalam dokumen Nuclear Posture Review (NPR) terbaru Washington yang dirilis beberapa bulan lalu dinyatakan bahwa Washington bisa menggunakan senjata nuklir sebagai tanggapan atas serangan non-nuklir terhadap dirinya sendiri atau sekutu-sekutunya.
Serangan yang bisa memicu pembalasan bom nuklir AS itu masih samar-samar, sehingga memicu spekulasi bahwa serangan siber pun bisa memungkinkan respons senjata nuklir Amerika. Presiden Putin menekankan bahwa Rusia tidak akan memulai perang nuklir karena akan menyebabkan malapetaka global.
Sejarah mencatat, tanggal 31 Juli 1991 menjadi tonggak awal untuk menuju perdamaian dan keamanan dunia dari ancaman senjata pemusnah massal nuklir. Pada hari itu, dua kekuatan dunia, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet meneken perjanjian untuk mengurangi jumlah senjata nuklir yang dihadapi masing-masing negara.
Di perjanjian bertajuk "START" ini, AS dan Soviet sepakat untuk mengurangi sekitar 35% senjata nuklir yang mereka miliki. Kesepakatan ini ditandatangani di Moskow oleh Presiden AS George HW Bush dan Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Perjanjian "Start" antara Blok Barat dan Blok Timur ini, baru tercapai setelah 9 tahun bernegosiasi.
Perbedaan sejumlah rudal nuklir yang dimiliki Amerika Serikat dan Rusia (dulu Uni Soviet). (Foto: stilloutinthecold.net) |
Namun pada akhirnya, perjanjian terdahulu tersebut tetap dianggap tak membuat dunia aman. AS dan Soviet masing-masing masih memiliki 9.000 dan 7.000 hulu ledak. Juga belum ada kesepakatan terkait senjata luar angkasa dan rudal jelajah dari laut.
Perjanjian START berlanjut ke masa pemerintahan selanjutnya, hingga Perjanjian START III yang dilakukan Presiden AS Bill Clinton dan Presiden Rusia Boris Yeltsin yang juga sepakat mengurangi jumlah nuklir. Kesepakatan terbaru pada 2012 bertajuk Treaty of Moscow menghasilkan pengurangan 1.700 dan 2.200 hulu ledak.
Perjanjian START baru benar-benar dilakukan pada tanggal 5 Februari 2011, setelah ditandatangani presiden Amerika ketika itu, Barack Obama, dan presiden Rusia ketika itu, Dmitry Medvedev, di Praha pada 8 April 2010. Perjanjian ini akhirnya dinamakan "NEW START."
Berdasarkan perjanjian bilateral itu, kedua pihak akan bertukar informasi dua kali dalam setahun mengenai jumlah hulu ledak serta wahana peluncurnya, dan akan diizinkan melakukan inspeksi di lapangan untuk memverifikasi kepatuhan pihak lain.
Berdasarkan perjanjian itu, Amerika dan Rusia tidak boleh memiliki lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir. Pembatasan lain juga diberlakukan terhadap kepemilikan rudal balistik antarbenua baik yang digelar maupun tidak, pesawat-pesawat pembom besar dan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam.
Namun Presiden AS Donald Trump yang sedang berkuasa, berambisi memperluas arsenal nuklir AS. Hal ini menimbulkan kemarahan Rusia yang memaksa Moskow untuk kembali memperkuat kemampuan rudal nuklir mereka yang sebelumnya berusaha "ditidurkan." [*JM]