Seorang pemuda Libya berdiri di atas sebuah bangkai tank yang hancur terbakar akibat perang saudara yang terus berkecamuk di Libya setelah tumbangnya rezim Muammar Qaddafi. (Foto: Istimewa) |
"Mana mungkin ini revolusi rakyat sedangkan tiga-perempat rakyat mendukung Khadafi? Apakah protes oleh ratusan orang di setiap kota adalah revolusi? Saya percaya dinas intelijen Barat berada di belakangnya untuk mengubah rezim Khadafi melalui kekerasan,"TRIPOLI -- Tumbangnya pemerintahan Presiden Libya Muammar Qaddafi, ternyata menimbulkan bencana baru bagi rakyat Libya. Negara itu kini jatuh dalam kekacauan berkepanjangan.
Kekacauan terjadi setelah terjadinya perebutan kekuasaan diantara berbagai kekuatan militer yang dulu bahu membahu memburu Muammar Qaddafi.
Libya kini terpecah menjadi dua kubu kekuatan, yaitu pemerintahan resmi yang diakui oleh PBB dan disokong kekuatan Pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin oleh Jenderal Khalifa Haftar, melawan pasukan Islamis yang terpecah dalam beberapa kelompok yang ingin mendirikan negara Islam Libya. Masing-masing pihak bertempur untuk mendapatkan kekuasaan secara penuh atas negara itu.
Jenderal Haftar merupakan salah satu petinggi militer pada era Qaddafi yang membelot, dan melakukan perlawanan untuk menggulingkan mantan presiden Muamar Qaddafi pada 2011 lalu. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai salah satu tokoh militer paling kuat di negara itu. Ia bersama dengan pasukannya menguasai sebagian besar wilayah Libya Timur.
Haftar menjadi pendukung utama terbentuknya pemerintahan Libya saat ini, dengan lebih dulu membantu menumbangkan pemerintahan transisi Libya yang didominasi kekuatan Islam Pada awal tahun 2014, setelah tewasnya Muammar Qaddafi.
Setelahnya tumbangnya rezim Qaddafi, tampuk pemerintahan Libya dipegang oleh pihak Islamis yang diwakili oleh GNC (General National Congress) dibawah pimpinan Nouri Abusahman pada Juni 2013.
GNC mulai menerapkan syariat Islam pada Desember 2013. Namun pada tanggal 14 Februari, pemerintahan GNC diprotes oleh Khalifa Haftar. Haftar menyeru pembubaran GNC dan menuntut dibentuk pemerintah baru.
Tanggal 16 Mei 2014 Jenderal Khalifa Haftar membuat operasi penyerangan yang diberi kode Operasi Dignity terhadap Islamis di Bengazhi. Dua hari setelahnya, pasukan Haftar berusaha membubarkan GNC di Tripoli.
Pada Juni 2013 berlangsung pemilu di Libya. Hasilnya, pemerintah baru Libya menggantikan GNC. Pemerintah baru yang diakui oleh dunia internasional tersebut mengangkat Abdullah Al-Thinni sebagai perdana menteri.
Walau Libya sudah memiliki perdana menteri baru, tetapi secara de facto, kekuasaan Libya dipegang oleh Jenderal Haftar. Dengan kekuatan militer yang dimilikinya, jenderal yang memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat tersebut, mampu mengendalikan dan mempengaruhi jalannya pemerintahan Libya.
Pasukan militer yang loyal pada Haftar, mengendalikan keimigrasian, membangun zona militer, mengendalikan dan menguasai kota-kota besar di Libya, seperti Tripoli, Bengazhi, Derna dan kota lainnya.
Pemerintahan Libya yang disokong Barat, mendapat perlawanan sengit dari kubu pejuang Islamis. Mendapat bantuan suplai secara penuh dari Amerika dan Barat, tetap tidak mampu membantu Haftar dan pasukannya untuk mengalahkan gerilyawan Islamis yang justru semakin menyebar di kota-kota besar negara itu.
Akibatnya, perang berkecamuk terjadi di Bengazhi, Derna, Tripoli, Sirte, dan kota-kota lainnya diseluruh penjuru Libya. Setidaknya ratusan ribu rakyat Libya tewas akibat perang saudara yang terjadi di Libya. Jumlah tersebut bahkan lebih besar dibandingkan saat terjadinya pertempuran untuk menumbangkan Muammar Qaddafi.
Bahkan di Tripoli, pertempuran tersebut telah menyebabkan penutupan bandara internasional. Sementara kelompok-kelompok Islamis juga bertempur melawan pasukan khusus Libya di kota Benghazi, Libya timur.
"Ini lebih buruk daripada 2011. Saat itu kami dibombardir oleh NATO, namun sekarang kami sedang dibombardir oleh warga Libya sendiri, dan itu sangat memalukan," ujar Ali Gariani, pria Libya yang menikahi wanita Yunani. "
Rakyat Libya Menyesal Gulingkan Muammar Qaddafi
Revolusi Libya yang disponsori kekuatan Barat untuk menumbangkan rezim Muammar Qaddafi seperti membuka kotak Pandora bagi rakyat Libya. Impian untuk mendapatkan kebahagiaan, kebebasan, kesejahteraan dan kemakmuran setelah tumbangnya Qaddafi, ternyata hanya menjadi ilusi. Libya kini jatuh dalam kehancuran dan akan disesali rakyat negara itu hingga beberapa dekade setelahnya.
Kebanyakan rakyat Libya menyesalkan penggulingan Muammar Qaddafi, bukan karena mereka mencintai rezimnya, tapi karena pilihan revolusi ternyata tak sesuai harapan. Perang sipil yang terjadi di negeri itu saat ini jauh lebih buruk daripada kerusuhan yang terjadi sebelum tumbangnya diktator Muammar Qaddafi.
"Ketika kami berdemonstrasi menentang rezim Qaddafi, kami memimpikan kebebasan dan menikmati kekayaan kami. Namun, kami sekarang dikelilingi oleh penjahat dan gembong perang. Bukannya menikmati kekayaan minyak kami, kemiskinan telah meningkat dan warga tak berdaya," kata Jalal Fituri, seorang pengajar di universitas setempat.
Sementara itu, Ibtisam Naili, seorang perawat di Tripoli, mengatakan percaya ada persekongkolan internasional dalam revolusi itu.
"Mereka yang berdemonstrasi menentang rezim Qaddafi pada 2011 dibodohi politisi Libya di luar negeri yang sangat menginginkan kekuasaan. Mereka mengambil-alih kekuasaan dengan mencuci otak pemuda Libya," katanya.
Di lain pihak, Najwa Al-Hami, seorang pegiat hak asasi manusia, mengatakan apa yang terjadi di Libya bukanlah revolusi.
"Mana mungkin ini revolusi rakyat sedangkan tiga-perempat rakyat mendukung Qaddafi? Apakah protes oleh ratusan orang di setiap kota adalah revolusi? Saya percaya dinas intelijen Barat berada di belakangnya untuk mengubah rezim Khadafi melalui kekerasan," kata Al-Hami.
"Revolusi milik setiap politikus yang memiliki dwi-kewarganegaraan dan memiliki rekening bank di luar negeri. Mereka sangat ingin merayakan peringatan sebab itulah alasan mengapa mereka berada pada posisi ini," ungkapnya.
"Kami telah mengalami perang sebelumnya, dengan Qaddafi, namun sekarang ini jauh lebih buruk. Kekacauan merajalela. Tak ada pemerintahan, kami tak punya makanan, tak ada bahan bakar, tak ada air, tak ada listrik hingga berjam-jam," tutur Paraskevi Athineou, wanita Yunani yang tinggal di Libya, seperti dilansir AFP, Sabtu (2/8/14).
Semua bencana itu berawal dari revolusi "Arab Spring" yang dimulai pada Februari 2011. Demonstrasi guna menentang rezim Qaddafi meletus pada 17 Februari 2011 di Kota Benghazi, Libya Timur, dan dengan cepat menyebar ke kota lain. Beberapa pekan kemudian, demonstrasi damai itu berubah menjadi konflik bersenjata antara gerilyawan Libya dan pasukan Qaddafi.
Pada Kamis 20 Oktober 2011 menjadi hari terakhir bagi Muammar Qaddafi menghirup udara segar. Pemimpin Libya yang telah berkuasa selama 42 tahun, 1969-2011, menemui ajalnya, Ia tewas di tangan pasukan oposisi yang disebut tentara Transisi Nasional Libya (NTC) di kota kelahirannya, Sirte.[*JM]