”Kami memiliki pemahaman yang matang tentang batas-batas dengan Indonesia yang telah melayani kedua negara dengan baik selama beberapa dekade. Selama konsiliasi dengan Timor Leste, kami telah mempertimbangkan kepentingan Indonesia dan telah memberi penjelasan kepada Indonesia mengenai persyaratan perjanjian antara Australia dan Timor Leste,”CANBERRA -- Australia dan Timor Leste menandatangani kesepakatan baru di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, untuk menyelesaikan perselisihan di perbatasan maritim. Kedua negara juga menyepakati cara membagi pendapatan dari ladang gas lepas Pantai Greater Sunrise.
Timor Leste akan memberikan bagian terbesar pendapatan dibandingkan dengan Australia tergantung pada konsep pengembangannya, yakni 70% pendapatan jika gas dikirim ke Australia untuk pemrosesan.
Kesepakatan itu juga menetapkan batas maritim di Laut Timor untuk pertama kali. Australia telah mengajukan batas itu sesuai dengan landas kontinen, tapi Timor Leste berpendapat batas itu harus setengah antara wilayahnya dan Australia sehingga sebagian besar ladang gas Greater Sunrise berada dalam kontrolnya.
“Dengan kesepakatan ini kami membuka babak baru hubungan antara Australia dan Timor Leste,” ungkap Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia Julie Bishop yang menandatangani traktat itu bersama Deputi Menteri Perdana Menteri untuk Pembatasan Perbatasan Timor Leste Augusto Cabral Pereira.
Perjanjian batas laut terbaru antara Australia dan Timor Leste tersebut ternyata juga mempengaruhi Indonesia. Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Indonesia Damos Dumoli Agusman mengatakan perjanjian batas wilayah Indonesia dan Australia harus dibicarakan ulang.
Alasannya, kesepakatan batas wilayah Australia dan Timor Leste berkonsekuensi terhadap perubahan batas wilayah dengan Indonesia.
“Perjanjian Perth tidak dapat berlaku seperti sekarang, antara lain yang mencakup wilayah yang sekarang milik TL (Timor Leste) dan objek konsiliasi,” katanya seperti dilansir Fairfax Media.
Lapangan Greater Sunrise terletak di batas lateral timur, sangat dekat dengan batas Australia-Indonesia. (Gambar: istimewa) |
”Kami memiliki pemahaman yang matang tentang batas-batas dengan Indonesia yang telah melayani kedua negara dengan baik selama beberapa dekade. Selama konsiliasi dengan Timor Leste, kami telah mempertimbangkan kepentingan Indonesia dan telah memberi penjelasan kepada Indonesia mengenai persyaratan perjanjian antara Australia dan Timor Leste,” ujar Bishop, dikutip Fairfax Media, Kamis (8/3/2018).
Alasan Australian Tolak Renegosiasi
Jika melihat catatan sejarah, batas laut Australia dan Indonesia disepakati pada awal 1971, ketika sebagian besar batas laut Australia masih didasarkan pada landas kontinen, yang jauh melampaui batas rata-rata dan sangat dekat dengan garis pantai pulau-pulau Indonesia.
Kini, hukum internasional telah berubah dan lebih mendahulukan garis median, dan bukan lagi landas kontinen. Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 misalnya menetapkan bahwa "dimana pantai dua negara berhadapan atau berdekatan satu sama lain, kedua negara tidak berhak untuk memperluas laut teritorialnya melampaui garis pertengahan."
Hal ini berarti jika batas maritim dengan Indonesia dinegosiasikan saat ini, hasilnya akan sangat berbeda dan memberikan hak yang lebih besar bagi Indonesia untuk kandungan kekayaan laut. Lebih penting lagi, bisa dikatakan hal itu akan memberi hak kepada Indonesia atas kekayaan alam di Greater Sunrise.
Pada tahun 1977, lima tahun setelah perjanjian disepakati, Menlu Indonesia Mochtar Kusamaatmadja saat itu mengklaim bahwa Australia telah "merugikan Indonesia" atas perundingan perbatasan.
Garis median kemudian digunakan untuk menentukan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam perjanjian terpisah pada tahun 1997, sehingga hak penangkapan ikan nelayan Indonesia jauh lebih jauh ke selatan daripada hak atas kekayaan dasar laut (minyak dan gas).
Namun, batas laut di pertengahan antara Australia dan Timor Leste berimplikasi pada perbatasan Australia yang jauh lebih panjang dengan Indonesia ke depannya.
Menteri Luar Negeri Australia, Gareth Evans dan Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas menandatangani Timor Gap Treaty di atas pesawat terbang, 1989. (Foto: Istimewa) |
"Hal yang tidak diinginkan Australia yaitu mengurai semua perbatasan maritim yang telah kita dinegosiasikan susah payah selama bertahun-tahun dengan semua negara tetangga kita. Batas-batas maritim kita dengan Indonesia mencakup ribuan kilometer. Itu masalah sangat besar bagi kita dan kita tidak ingin mau masuk dalam negosiasi ulang," kata Menlu Downer saat itu.
Sekarang, 16 tahun kemudian, skenario itu mungkin saja bisa terjadi. Pakar hukum internasional Don Rothwell dari Universitas Nasional Australia, yakin kesepakatan Australia-Timor Leste ini membuat pintu bagi Indonesia untuk menegosiasikan ulang perbatasannya dengan Australia. Sama seperti yang dilakukan Timor Leste.
"Karena Indonesia belum meratifikasi, hal itu membuat Indonesia bisa meminta Australia dan mengatakan ingin meninjau kembali aspek-aspek tertentu dari perjanjian tersebut. Terutama mengingat pengaturan batas maritim yang Australia lakukan sekarang dengan Timor Leste," kata Profesor Rothwell.
"Hal itu bisa menimbulkan kerumitan serius bagi Australia dalam menghadapi kemungkinan negosiasi ulang batas maritim yang signifikan dengan Indonesia, yang membentang dari Timor Barat hingga ke Jawa dan Samudra Hindia," paparnya.
Ladang Minyak dan Zona Konflik Baru
Lapangan Greater Sunrise terletak di batas lateral timur, sangat dekat dengan batas Australia-Indonesia. Jika Indonesia ingin mempermasalahkan isu ini, kemungkinan ada implikasi signifikan terhadap kedaulatan maritim Australia serta hak atas Greater Sunrise. Hal itu juga bisa mengarah pada pertengkaran hukum baru bagi Australia.
Skenario terburuk bagi Australia adalah, negara tersebut harus dapat mengizinkan Indonesia untuk mengklaim haknya atas cadangan minyak dan gas yang menguntungkan di Laut Timor.
Perjanjian Perth disepakati pada tahun 1997 antara Australia dan Indonesia. Perjanjian itu membuat hak penangkapan ikan di Indonesia meluas lebih jauh ke selatan daripada hak dalam perjanjian tahun 1972. Hak untuk menjelajahi dasar laut yang diyakini kaya minyak dan gas juga meluas. Tapi, Indonesia belum pernah meratifikasi perjanjian tahun 1997, meski menyatakan menghargainya.
Rakyat Timor Leste melakukan unjuk rasa memprotes Australia. Selama lebih dari satu dekade, Australia dituduh telah berlaku curang dengan merampas kekayaan minyak di celah Timor. (Foto: istimewa) |
“Jika Australia telah mempersiapkan untuk menegosiasikan ulang beberapa dari batas-batas tersebut dengan Timor Leste, mengapa Australia tidak dapat menegosiasikan kembali batas-batas dengan Indonesia yang telah diselesaikan beberapa waktu yang lalu juga?” ujar Profesor Rothwell.
Presiden Joko Widodo dijadwalkan melakukan pertemuan bilateral setengah jam dengan Perdana Menteri Malcolm Turnbull pada pertemuan puncak ASEAN-Australia di Sydney pada 17-18 Maret 2018. Namun, belum jelas apakah pertemuan kedua pemimpin ini akan membahas masalah batas maritim kedua negara atau tidak.
Sedangkan bagi Timor Leste, walau isi perjanjian sangat dirahasiakan, perjanjian ini sangat penting bagi masa depan ekonomi negara, disaat ketergantungan pada hasil pendapatan minyak bumi negara miskin tersebut semakin meningkat.
Perjanjian terbaru akan memberi negara kecil tersebut kedaulatan yang lebih besar terhadap ladang minyak dan gas Greater Sunrise, yang diperkirakan dapat bernilai hingga $64,5 miliar dalam bentuk pendapatan.
Sebelumnya, perselisihan antara kedua negara membuat pemilik Greater Sunrise, yakni Woodside Petroleum, ConocoPhillips, Royal Dutch Shell, dan Osaka Gas Jepang, menunda proyek itu. Ladang gas Greater Sunrise diperkirakan memiliki 5,1 triliun kaki kubik gas dan 226 juta barel kondensat yang diperkirakan dapat bernilai USD40 miliar.(*JM)
Sumber: Fairfax Media/australiaplus.com