“Dalam situasi ketika Australia atau sekutu-sekutunya memutuskan untuk menempatkan pasukan dalam jumlah besar, khususnya di bagian utara Australia dengan perlengkapan dan sistem persenjataan, amat penting untuk berkomunikasi dengan Indonesia dan negara lainnya,”CANBERRA -- Amerika Serikat (AS) telah memiliki hubungan militer yang sangat erat sejak era Perang Dunia II. Kini, aliansi Australia-AS lebih dalam dan lebih dekat dari sebelumnya. AS dan Australia memperkuat aliansi untuk menghadapi kebangkitan kekuatan militer negara-negara kuat di kawasan Asia-Pasifik.
Salah satu ancaman potensial bagi AS dan Australia adalah kebangkitan militer China, Rusia dan potensi ancaman Indonesia.
Meski pernah dianggap sebagai presiden yang lamban dan merespon pembangunan pangkalan militer Amerika Serikat di Kota Darwin, Australia, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata memberikan perhatian serius terhadap kebijakan yang dibuat oleh Australia tersebut.
SBY mengatakan penting bagi Amerika Serikat dan Australia bersikap transparan soal kebijakan pertahanan. Berbicara pada konferensi yang digelar Institut Kebijakan Strategis Australia di Canberra, SBY mengaku kaget ketika pertama kali mendengar rencana Presiden AS Barack Obama untuk menempatkan ribuan marinir di Kota Darwin.
Rencana itu, menurut SBY, pertama kali didapat dari wartawan sebelum menghadiri KTT APEC di Hawaii, 2011 silam.
“Mengejutkan buat saya. Pada akhirnya semua jelas, tapi komunikasi penting untuk menghindari kesalahpahaman serta membangun kepercayaan dan keyakinan,” kata SBY sebagaimana dikutip kantor berita Associated Press.
SBY menekankan pentingnya bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik mempertahankan transparansi soal kebijakan pertahanan.
“Dalam situasi ketika Australia atau sekutu-sekutunya memutuskan untuk menempatkan pasukan dalam jumlah besar, khususnya di bagian utara Australia dengan perlengkapan dan sistem persenjataan, amat penting untuk berkomunikasi dengan Indonesia dan negara lainnya,” kata SBY.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat bersama mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbot, (Foto: istimewa) |
Penempatan itu dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga kepentingan AS di kawasan Asia Pasifik di tengah kekhawatiran terhadap upaya Cina yang terus mengembangkan kekuatannya.
Marty Natalegawa, yang menjabat menteri luar negeri Indonesia kala itu, mengatakan RI tidak keberatan dengan rencana AS. Indonesia, menurutnya, melihat penempatan pasukan itu sebagai kesempatan berharga untuk mengembangkan respon dalam penanganan bencana alam dan bantuan kemanusiaan.
Saat ini banyak pengamat militer yang menghimbau pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk bertindak cepat dengan meningkatkan kemampuan militer Indonesia, terutama di wilayah Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur yang sangat mudah dijangkau oleh militer Amerika Serikat dan Australia.
Selain itu, saat ini dengan melambatnya pembangunan kekuatan TNI dalam program 'Minimun Essential Force' atau MEF yang dicanangkan pada saat pemerintahan mantan Presiden SBY, Jokowi dianggap banyak pihak mengabaikan kedaulatan NKRI di bagian timur Indonesia yang sudah semakin terkepung oleh pembangunan pangkalan militer Amerika Serikat dan Australia.
Kenapa Amerika Menumpuk Kekuatan Militer di Australia?
Melalui aliansi ANZUS, Australia telah menjadi bagian penting dari struktur persekutuan Asia-Pasifik Amerika Serikat selama lebih dari enam puluh tahun. Aliansi ini awalnya dibentuk untuk menghadapi kebangkitan dan invasi militer kekaisaran Jepang pada era Perang Dunia II. Aliansi juga efektif untuk membendung pengaruh Uni Soviet pada era Perang Dingin di kawasan Asia Pasifik.
Kini bentuk aliansi telah terus bergeser, sebagai satu kesatuan pivot Amerika di Pasifik, Australia kini lebih tertanam secara strategis dan militeris ke dalam perencanaan militer global AS, terutama di Asia, daripada sebelumnya.
Aliansi ini melibatkan pemerintah Australia yang mengidentifikasi kepentingan nasional Australia dengan sekutu Amerika-nya. Kedua negara melakukan integrasi pasukan militer Australia secara organisasional dan berteknologi dengan pasukan AS dan ekspansi yang cepat dan ekstensif dari kehadiran militer Amerika di Australia.
Pola aliansi kerja sama asimetris ini, terutama dalam konteks kebijakan AS, memunculkan pertanyaan mendesak tentang tujuan kedua negara imperialis ini memperkuat persenjataan mereka.
Pada tahun 2018, lebih dari 1.500 kontingen marinir AS mulai berdatangan di Darwin. Sejak tahun 2012, marinir AS secara rutin ditempatkan di sini. Dan di bawah ketentuan perjanjian postur kekuatan antara AS dan Australia, pasukan militer AS akan berada di Australia setiap hari hingga tahun 2040.
Australia dan AS tidak pernah menjelaskan secara jelas alasan mereka meningkatkan pertahanan dalam skala besar, selain alasan untuk melancarkan 'perang psikologis' melawan China. Sebab, Asia-Pasifik saat ini berada dalam zona damai bisa terpancing menjadi perang perlombaan senjata jika negara-negara kuat di kawasan terprovokasi dengan tindakan Amerika-Australia.
Ditambah lagi, dalam Buku Putih pertahanan 2016-2017 Australia, dicantumkan tidak ada potensi ancaman dari negara manapun yang akan menyerang negeri Kangguru tersebut, setidaknya dalam beberapa dekade ke depan. Lalu, untuk menghadapi siapa kekuatan militer yang sedang ditimbun Amerika di Australia?
Indonesia, sebagai negara yang memiliki wilayah teritori berbatasan langsung dengan Australia, perlu mewaspadai pergerakan militer Amerika di kawasan ini. Ditambah lagi, Amerika dan Australia sudah sejak lama memiliki kepentingan dengan Provinsi Papua yang kaya sumber daya alam dan hanya berjarak 'selemparan batu' dari Australia.(*JM)
Sumber: bbc.com