Keputusan sepihak Amerika Serikat yang keluar dari perjanjian nuklir Iran, dibalas oleh Teheran dengan mengaktifkan kembali sejumlah fasilitas nuklir rahasia negara itu. |
Media pemerintah Iran melaporkan hari Rabu bahwa 2,800 kg silinder yang memuat 2.000 kg prekursor pengayaan uranium hexafluoride telah dipasang di Fordow. Di bawah kesepakatan 2015, Iran berkomitmen untuk mengurangi kemurnian uranium yang diperkaya menjadi 3 persen dan pengayaan dilarang di fasilitas Fordow.
"Setelah semua persiapan yang berhasil, injeksi gas uranium ke sentrifugal dimulai pada hari Kamis di Fordow, semua proses telah diawasi oleh inspektur pengawas nuklir AS," kata Badan Energi Atom Iran (AEOI) pada Kamis, seperti dikutip dari Reuters, 7 November 2019.
Perjanjian nuklir Iran 2015 melarang pengayaan dan bahan nuklir dari Fordow. Tetapi dengan bahan baku gas memasuki sentrifugalnya, fasilitas yang dibangun di dalam gunung, akan berpindah dari status yang diizinkan dari fasilitas penelitian menjadi situs nuklir aktif.
Di bawah pakta tersebut, Iran setuju untuk mengubah Fordow menjadi pusat nuklir, fisika dan teknologi, di mana 1.044 sentrifugal digunakan untuk tujuan selain pengayaan, seperti memproduksi isotop stabil, yang memiliki berbagai kegunaan sipil.
Iran secara bertahap mengurangi komitmennya terhadap perjanjian nuklir, di mana perjanjian tersebut mengekang program nuklirnya dengan imbalan penghapusan sebagian besar sanksi internasional, setelah Amerika Serikat mengingkari perjanjian tahun lalu.
"Prosesnya akan membutuhkan beberapa jam untuk stabil dan pada hari Sabtu, ketika inspektur Badan Energi Atom Internasional akan kembali mengunjungi situs tersebut, tingkat pengayaan uranium 4,5% akan tercapai," kata juru bicara AEOI Behrouz Kamalvandi kepada TV pemerintah.
"Semua sentrifugal yang dipasang di Fordow adalah tipe IR1. Gas uranium (UF6) disuntikkan ke empat rantai sentrifugal IR1 (696 sentrifugal). Dua rantai tersisa lainnya dari sentrifugal IR1 (348 sentrifugal) akan digunakan untuk memproduksi dan memperkaya isotop stabil di fasilitas tersebut," kata Kamalvandi.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengatakan Teheran tidak memiliki alasan yang dapat dipercaya untuk memperluas program pengayaan uraniumnya dan Washington akan melanjutkan kebijakan tekanan ekonomi terhadap Iran sampai ia mengubah perilakunya.
Iran Balas Pengkhianatan AS
Iran dan Rusia, pada Minggu 10 November 2019, meresmikan tahap konstruksi baru untuk reaktor kedua di satu-satunya pembangkit listrik tenaga nuklir Iran di Bushehr. Reaktor tersebut adalah satu dari dua yang secara resmi sedang dibangun sejak 2017 di lokasi Bushehr yang berjarak sekitar 750 km selatan Teheran.
Ali Akbar Salehi, kepala Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), dan Wakil Kepala Badan Nnuklir Rusia (Rosatom), Alexander Lokshin, meluncurkan tahap baru pada upacara pembangunan awal di mana beton dituangkan ke pangkalan reaktor, demikian seperti dikutip dari the Japan Times, Senin (11/11/2019).
"Dalam visi jangka panjang hingga 2027-2028, ketika proyek-proyek ini selesai, kami akan memiliki 3.000 megawatt listrik yang dihasilkan oleh pembangkit nuklir," kata Salehi pada upacara tersebut.
Iran tengah berusaha untuk mengurangi ketergantungannya pada minyak dan gas melalui pengembangan fasilitas tenaga nuklir. Rusia membangun reaktor 1.000 megawatt yang ada di Bushehr yang mulai beroperasi pada September 2011 dan diperkirakan akan melakukan pembangunan sepertiga lanjutannya di masa depan, menurut AEOI. Sebagai bagian dari perjanjian 2015, Moskow menyediakan bahan bakar yang dibutuhkan Teheran untuk reaktor nuklir penghasil listriknya.
Kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau 'Iran nuclear deal' 2015 yang ditandatangani oleh Iran dengan enam kekuatan utama dunia, termasuk Rusia, menempatkan pembatasan pada jenis reaktor nuklir yang dapat dikembangkan Teheran dan produksibahan bakar nuklirnya. Tetapi, perjanjian itu tidak mengharuskan Iran untuk menghentikan penggunaan energi nuklirnya untuk pembangkit listrik.
Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir untuk tujuan militer. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.
kelangsungan hidup kesepakatan JCPOA 2015 telah terancam sejak Amerika Serikat secara sepihak menarik diri dari perjanjian pada 8 Mei 2018, memberlakukan kembali sanksi ekonomi yang menekan Negeri Paramullah.
Menanggapi pengkhianatan dan penjatuhan sanksi yang kembali dilakukan oleh AS terhadap Iran, Teheran kembali mengaktifkan secara bertahap seluruh fasilitas nuklir rahasianya yang sebelumnya sempat ditutup demi menghormati pakta perjanjian nuklir tersebut sejak Mei 2019.
Menanggapi kebijakan tekanan maksimum Washington, Iran telah melewati batasan kesepakatan selangkah demi selangkah, termasuk melanggar batasan pada uranium yang diperkaya yang ditimbun dan pada tingkat pengayaan fisil.
Iran pada hari Senin mengatakan sedang mengembangkan sentrifugal canggih yang dapat memperkaya uranium lebih cepat. Langkah Iran ini akan semakin memperumit peluang menyelamatkan perjanjian.
Rintangan terbesar untuk membangun senjata nuklir adalah mendapatkan bahan fisil yang cukup, yakni uranium atau plutonium yang sangat diperkaya, untuk inti bom. Tujuan utama kesepakatan nuklir 2015 adalah untuk memperpanjang waktu yang diperlukan Iran untuk membangun senjata nuklir, dari 2 hingga 3 bulan menjadi satu tahun.
Kisruh seputar pakta itu selama setahun terakhir telah menjadi salah satu faktor penyulut eskalasi tensi hubungan antara Iran - AS dan Iran dengan negara Barat lainnya, serta menuai kekhawatiran akan konflik diplomatik hingga geo-politik.
Berbicara pada konferensi pers di akhir kunjungan ke Cina, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut langkah terbaru Iran sebagai kabar buruk, dan ia akan berbicara dengan Trump dan Iran dalam beberapa hari mendatang.
Sejarah Panjang Pengembangan Nuklir Iran
Pada awal 1957, AS meluncurkan program nuklir dengan Iran. Saat itu, Iran yang dipimpin oleh Shah, memang memiliki hubungan baik dengan AS. Iran pun mengembangkan program nuklirnya pada 1970-an atas dukungan AS.
AS mulai berhenti mendukung program nuklir Iran ketika Shah digulingkan pada Revolusi Islam tahun 1979. Setelah Revolusi Islam, Iran semakin mengembangkan tenaga nuklir yang mereka klaim untuk dijadikan sebagai tenaga pembangkit listrik.
Namun badan rahasia AS, CIA, menilai bahwa negara tersebut belum perlu mengganti tenaga listriknya dengan nuklir. Negara-negara Barat pun curiga pengembangan nuklir di Iran bertujuan untuk membuat bom atom.
Pada tahun 2003, Badan Energi Atom Internasional, IAEA, menyatakan bahwa mereka menemukan pabrik uranium berkadar tinggi di Natanz, Iran. Produksi uranium Iran sempat dihentikan, namun pada tahun 2006 Iran kembali memproduksi setelah mengadakan perjanjian dengan IAEA.
Pada akhir tahun 2006 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sanksi terhadap Iran karena tidak juga menghentikan program nuklirnya. Sanksi kemudian meluas menjadi larangan jual beli senjata, larangan berkunjung, larangan jual beli minyak dan larangan bertransaksi dengan bank di Iran selama tujuh tahun.
Sanksi tersebut melumpuhkan perekonomian Iran karena harga minyak turun dan mata uang Iran turun 80%. Tahun 2012 Iran bahkan mengalami inflasi. Tapi seakan tidak jera setelah diselidiki oleh AS, Iran malah menambah produksi uraniumnya menjadi 19 ribu sentrifugal yang awalnya hanya berjumlah 3.000 sentrifugal pada tahun 2007.
Pemerintah AS percaya bahwa sanksi yang diberikan cukup membuat Iran jera. Presiden Iran Hassan Rouhani juga dinilai lebih terbuka dari presiden sebelumnya sehingga lebih mudah diajak bernegoisasi.
Sebuah kelompok anti-nuklir di AS mengatakan bahwa jika Iran tidak dicegah, Iran dapat memproduksi bom nuklir dalam jangka waktu sebulan. Namun menurut Mark Hibbs, seorang ahli kebijakan nuklir di Carnegie Endowment for International Peace, jika Iran terus dicegah, Iran baru bisa memproduksi bom nuklir dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun.
Negara barat menuntut agar Iran mengurangi 20% kadar uranium yang sedang diproduksi. Selain itu Iran juga harus mengurangi stok uranium, berhenti membangun fasilitas pengayaan uranium baru dan menghentikan reaktor di Arak, yang dapat menghasilkan plutonium bahan alternatif untuk bom nuklir.
Iran meminta negara Barat mengurangi sanksi dan memperbolehkan Iran memproduksi uranium berkadar rendah sesuai perjanjian Non-Proliferasi (pembatasan kepemilikan senjata nuklir) yang telah ditandatangani Iran pada 1 Juli 1968.
Iran Mampu Buat Senjata Nuklir dalam Hitungan Bulan
Israel merupakan negara yang paling "getol" menentang pengembangan nuklir Iran. Musuh bebuyutan Teheran itu merasa terancam jika Iran berhasil membuat senjata nuklir di kawasan bergejolak tersebut.
Sejumlah situs reaktor nuklir Iran, yang disebar di sejumlah wilayah negara itu. (Gambar: Istimewa) |
Arsip rahasia Iran yang disita oleh agen Israel awal tahun 2018 menunjukkan bahwa program nuklir pemerintah Iran jauh lebih maju daripada yang diduga oleh badan intelijen Barat dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA/International Atomic Energy Agency), menurut seorang ahli nuklir terkemuka yang memeriksa dokumen-dokumen itu.
Kesimpulan itu pada gilirannya menunjukkan bahwa jika Iran keluar dari kesepakatan nuklir multilateral 2015 yang telah ditinggalkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Iran memiliki pengetahuan untuk membangun sebuah bom dengan cukup cepat, mungkin dalam hitungan bulan, kata David Albright, seorang fisikawan yang menjalankan organisasi nirlaba Institut Sains dan Keamanan Internasional di Washington D.C.
Iran masih perlu memproduksi uranium untuk senjata. Jika Iran memulai kembali sentrifugasi, produksi itu bisa mencukupi dalam waktu sekitar tujuh hingga 12 bulan, tambah Albright, yang kini sedang menyiapkan laporan tentang arsip.
Arsip itu, yang panjangnya lebih dari 100 ribu halaman, mencakup periode dari tahun 1999 hingga 2003, satu dekade sebelum negosiasi tentang kesepakatan nuklir dimulai. Tetapi kumpulan dokumen menunjukkan bahwa pemerintah AS dan IAEA selalu meremehkan seberapa dekat kemampuan pemerintah Iran dalam mewujudkan bom.
“AS mengeluarkan pernyataan bahwa diperlukan setidaknya satu tahun, mungkin dua tahun, untuk membangun senjata yang dapat dikirimkan. Informasi dalam arsip memperjelas bahwa Iran bisa melakukannya jauh lebih cepat,” kata Albright. Dia menambahkan bahwa pemerintah Prancis, yang kemudian mengatakan Iran dapat mewujudkan senjata dalam waktu tiga bulan, jauh lebih dekat dalam perkiraannya.
Para analis masih memilah-milah arsip, kata Albright, yang juga dikenal karena telah melacak program nuklir Korea Utara dan menyelidiki senjata program pemusnah massal Irak pada tahun 1990-an. “Saya tidak berpikir bahwa bahkan Israel telah melalui semua itu,” katanya. “Setiap hari ketika mereka mengecek arsip, mereka menemukan sesuatu yang baru.”
Agen-agen Mossad menyita arsip itu dalam serangan malam hari yang berani di sebuah gudang di Teheran pada akhir bulan Januari 2018. Akhir bulan April 2018, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengungkapkan beberapa konten dalam pidato yang dianggap sebagai upaya melodramatis untuk mendorong Trump agar meninggalkan Rencana Aksi Komprehensif Gabungan, nama resmi untuk kesepakatan nuklir Iran.
“Dokumen-dokumen ini secara meyakinkan membuktikan bahwa Iran dengan berani berbohong ketika mengatakan tidak pernah memiliki program senjata nuklir,” kata Netanyahu.(jm)