Seorang siswa memegang gambar pemimpin Libya Moammar Gadhafi dan putranya Saif al-Islam dan Khamis, di dekat gedung di Universitas Fatih, di Tripoli. ( Foto: Reuters) |
"Dia berencana untuk menjadikan Libya lebih aman dan stabil, sesuai dengan geografi Libya, dan berkoordinasi dengan semua faksi Libya,"TRIPOLI -- Kabar mengejutkan datang dari Libya, anak dari mantan diktaktor Libya, Muammar Gaddafi, yakni Saif al-Islam Gaddafi dilaporkan akan maju dalam pemilihan Presiden Libya. Pilpres Libya sendiri akan berlangsung pada pertengahan tahun depan.
Saif al-Islam bertekad akan merebut kembali pemerintahan Libya melalui jalan demokrasi.
Kepastikan akan majunya Saif al-Islam dalam pilpres di Libya disampaikan langsung oleh juru bicara keluarga Gaddafi, Basem al-Hashimi al-Soul. Basem menuturkan, Saif al-Islam mendapatkan dukungan yang cukup luas dari sejumlah suku, dan kelompok di Libya untuk maju dalam pilpres pada tahun depan.
"Saif al-Islam Gaddafi, putra mantan presiden Libya, mendapat dukungan dari suku-suku utama di Libya, sehingga dia dapat mencalonkan diri untuk pemilihan presiden yang akan datang, yang dijadwalkan pada 2018," kata Basem.
Saif berharap, dia bisa menyatukan seluruh suku dan faksi yang ada di Libya, dan menciptakan stabilitas. Bentuk stabilitas itu dituangkan pada program kampanye keamanan berdasarkan kondisi geografi Libya.
"Dia berencana untuk menjadikan Libya lebih aman dan stabil, sesuai dengan geografi Libya, dan berkoordinasi dengan semua faksi Libya," sambungnya, seperti dilansir Russia Today pada Senin (18/12).
Pengumuman majunya Saif sebagai capres terjadi pasca-keputusan Panglima Tertinggi Libya, Khalifa Haftar. Saat itu, Haftar menyatakan bakal mendengarkan keinginan rakyat Libya yang merdeka. Pernyataan itu dianggap sebagai sinyal Haftar bakal menggelar pilpres.
"Kami percaya pilpres itu bakal digelar pertengahan 2018," kata menteri luar negeri Pemerintahan Kesepakatan Nasional Libya (GNA), Mohamed Siala.
Anak dari mantan pemimpin Libya, Muammar Gaddafi, yakni Saif al-Islam Gaddafi mendapat sambutan hangat dari Rakyat Libya sesaat setelah bebas dari penjara. (Foto/Reuters) |
Saif ditahan pada November 2011 pasca-kejatuhan rezim Gaddafi. Pria penerima gelar PhD dari London School of Economics sempat dijatuhi hukuman mati in absentia oleh pengadilan Tripoli. Pengadilan ini berada di bawah kendali GNA yang didukung PBB.
Pasca-dibebaskan, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menerbitkan surat perintah penangkapan kepada Saif. Dia dianggap bertanggung jawab atas berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya semasa ayahnya masih memerintah.
Jatuhnya pemerintahan Presiden Muammar Gaddafi dengan berujung pada kematian pemimpin terlama Libya tersebut, menjadikan salah satu negara terkaya di Afrika itu jatuh dalam perang saudara yang tak berkesudahan.
Libya pada era Gaddafi dikenal sangat sejahtera, kini menjadi salah satu negara dengan tingkat kemiskinan tertinggi di dunia. Sebagian besar rakyat Libya kini menyesali kematian Gaddafi, dan berharap munculnya kembali pemimpin yang mampu menyatukan seluruh rakyat Libya.(*JM)
Sumber: AfricaNews / RussiaToday