Para pendukung separatis OPM mengangkat masalah perbedaan ras sebagai alat propaganda melawan kedaulatan Indonesia di tanah Papua. (Foto: istimewa) |
“Pertanyaan penting untuk PNG, bagaimana cara terbaik pemerintah memberikan dukungan praktis terhadap orang-orang yang telah diakui sebagai pengungsi ini? Jika pemerintah PNG tidak peduli, kirimkan kami ke negara ketiga,"PORT MORESBY -- Propaganda kelompok Organisasi Separatis Papua Merdeka (OPM), yang ingin melepaskan diri dari Indonesia dengan alasan perbedaan ras atau etnis ternyata tak laku dijual di Papua Nugini (PNG). Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa pemerintah PNG menyatakan akan mengusir para pengungsi asal Papua di ibukota Port Moresby.
Para pengungsi ini sejatinya adalah para pendukung dan anggota kelompok separatis OPM yang melarikan diri dari kejaran aparat keamanan Indonesia. Mereka memasuki PNG secara ilegal dan selama ini selalu merasa akan aman-aman saja dengan alasan persamaan ras Melanesia.
Takut dengan tindakan penggusuran dan pengusiran tersebut, para anggota dan simpatisan separatis OPM itu memohon agar pemerintah Papua New Guinea mengirimkan mereka ke negara lain, dan menolak untuk dikembalikan ke Indonesia.
Kondisi tempat tinggal para anggota separatis OPM pelarian, yang tinggal di Port Moresby, Papua Nugini. (Foto: Jubi) |
Namun, pemerintah PNG membantah bahwa mereka adalah pengungsi, dan menyebutkan jika kehadiran mereka di negara itu tak lebih hanyalah sebuah pelarian dari kejaran kepolisian Indonesia. PNG menyatakan tidak akan bersedia membantu dan menjadikan negaranya sebagai tempat persembunyian kelompok pengacau keamanan tersebut.
Upaya penggusuran dimulai sekitar Rabu (31/8/2016) tengah hari di sebuah properti di Hohola Port Moresby oleh Kepolisian Hohola. Donatus Karuri, seorang pendatang ilegal yang telah tinggal di properti ini selama lebih dari 30 tahun mengatakan polisi tidak memberikan pemberitahuan penggusuran sebelumnya. Polisi muncul dan memaksa mereka untuk mengosongkan tempat tersebut.
“Properti di Hohola ini, telah menjadi kamp pengungsi informal bagi masyarakat Papua Barat yang datang ke PNG mencari keamanan dan perlindungan,” kata Karuri, seperti dilansir Jubi, Kamis (1/9/2016).
Para simpatisan separatis OPM menjadikan masalah perbedaan ras sebagai alat propaganda melawan kedaulatan Indonesia di Provinsi Papua. (Foto: istimewa) |
Sedangkan perwakilan Indonesia di Port Moresby menyatakan, merasa sulit dan kebingungan mengatasi kondisi ini. Pasalnya para pendukung separatis OPM pelarian tersebut sudah turun temurun tinggal di PNG selama puluhan tahun, dan telah melahirkan sejumlah generasi baru yang telah terputus secara total dari Indonesia.
Memberikan pengampunan atau menarik mereka kembali pulang juga memerlukan landasan hukum, yang mana status para pelarian tersebut juga harus jelas, apakah masih berkewarganegaraan Indonesia atau tidak, serta tindakan hukum apakah yang akan dilakukan terhadap para pelarian itu nantinya.
Kelompok separatis OPM selama ini selalu mempropagandakan keburukan Indonesia di sejumlah negara, terutama di kawasan Oceania. Salah satu propaganda yang sering dipakai OPM adalah masalah perbedaan ras. Separatis OPM meyakini bahwa rakyat Papua seharusnya tidak bergabung dengan Indonesia yang memiliki perbedaan ras asia yang mencolok.
OPM menganggap bahwa mereka seharusnya bergabung dengan kawasan yang memiliki ras sama, seperti Papua Nugini, Vanuatu, Fiji, dan sejumlah negara Oceania lainnya. OPM mengangkat isu-isu tidak penting seperti perbedaan warna kulit, bentuk rambut, postur tubuh, dan lain-lain untuk memperjelas perbedaan mereka dengan Indonesia.
Meskipun propaganda perbedaan ras ini tidak mendapat sambutan terutama di Papua Nugini dan Fiji, OPM mampu menjaring para simpatisan fanatik di sejumlah negara di kawasan tersebut. (*)
Sumber: tabloidjubi