"Setiap pagi kami berlatih keras, merangkak di dalam lumpur. Mereka ingin kami menjadi kejam, tanpa rasa ampun,"Jalurmiliter.com -- Dalam kehidupan normal tidak ada tindakan yang lebih gila daripada memberikan senjata terutama senjata tajam kepada anak kecil. Namun berbeda untuk di kawasan Afrika, di kawasan benua hitam tersebut, anak-anak dieksploitasi sejak kecil untuk dijadikan mesin pembunuh di zona perang.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, benua Afrika memiliki jumlah tentara anak-anak tertinggi di dunia. Menurut Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), lebih dari 20.000 tentara anak telah dikerahkan oleh kelompok bersenjata di Sudan Selatan sejak perang sipil meletus pada bulan Desember 2013.
Di tempat lain, diperkirakan ada ratusan ribu anak yang direkrut menjadi tentara selama konflik bersenjata yang terjadi di Republik Afrika Tengah, Somalia, Mali, Republik Demokratik Kongo, dan sejumlah negara Afrika yang berada dalam kondisi perang.
Kelompok teroris Boko Haram di Nigeria menggunakan anak-anak dan perempuan dalam banyak operasinya. UNICEF baru-baru ini mengumumkan bahwa jumlah anak yang dikerahkan sebagai pelaku bom bunuh diri di Nigeria telah meningkat empat kali lipat pada tahun ini.
Sedangkan kelompok al-Shabaab di Somalia, Tidak hanya merekrut pemuda, namun kelompok tersebut mengerahkan anak-anak dan remaja dalam serangan terhadap pasukan pemerintah, pasukan Uni Afrika dan lembaga internasional. Al-Shabaab mampu merekrut banyak anak yang terkena dampak kelaparan dengan menjanjikan makanan, tempat tidur, dan uang.
Teroris juga memanfaatkan perdagangan manusia, terutama anak-anak sebagai sumber pendapatan baru mereka. Karena sumber pendapatan sebelumnya termasuk penjualan minyak dan perpajakan, tidak efektif menyusul kondisi perekonomian global dan harga minyak yang anjlok.
Seorang kelompok militan bersenjata di Afrika sedang mengajarkan seorang anak kecil cara menggunakan senjata. (Foto: istimewa) |
Sedangkan menurut laporan, lembaga Save the Children, Kamis (19/12), Ada 10 Ribu Tentara Anak di Republik Afrika Tengah banyak yang terpaksa angkat senjata demi mendapatkan makanan, pakaian dan uang. Tidak jarang mereka diturunkan di garis depan peperangan.
Dalam laporannya, lembaga ini mengatakan bahwa beberapa dari anak itu diculik atau dipaksa bergabung dengan kelompok bersenjata. Sementara anak lainnya terpaksa bergabung demi mendapat makanan, pakaian, uang dan perlindungan. Beberapa di antara mereka angkat senjata karena ditekan oleh kawan-kawan atau orang tua, untuk melindungi komunitas atau balas dendam.
"Setiap pagi kami berlatih keras, merangkak di dalam lumpur. Mereka ingin kami menjadi kejam, tanpa rasa ampun," kata seorang mantan tentara anak, Grace a Dieu, yang bergabung dengan kelompok bersenjata pada Desember 2012 saat usianya 15 tahun, dikutip Reuters.
Tentara paling kecil diketahui berusia delapan tahun, mereka berperang, memanggul logistik, dan berada di garis depan. Save The Children mengatakan anak-anak ini seringkali mengalami penyiksaan fisik dan mental dari militan, beberapa dipaksa untuk membunuh orang.
"Saat berperang, kami, anak-anak, yang sering diturunkan ke garis depan, sementara yang lain tinggal di belakang. Saya melihat banyak saudara-saudara saya terbunuh saat bertempur," kata Dieu yang menggunakan nama samaran demi keselamatannya.
Hampir dalam setiap pertempuran, tentara anak-anak selalu ditempatkan di zona paling terdepan dalam menghadapi musuh. (Foto: istimewa) |
"Banyak anak di negara ini melalui hal-hal yang, jangan anak-anak, orang dewasa saja tidak sanggup melaluinya. Mereka menyaksikan kehilangan orang terkasih, melihat rumah mereka hancur, dan berusaha bertahan hidup di kondisi yang berat di semak-semak selama berbulan-bulan," kata Julie Bodin, manajer perlindungan Save the Children.
Tentara Anak-anak, Mesin Pembunuh Paling Efektif
Banyak negara di benua Afrika, terjadi perang sipil dengan berbagai faktor termasuk kurangnya perkembangan politik, minimnya demokrasi, dan upaya para pejabat untuk mempertahankan kekuasaan mereka, struktur budaya dan sosial, perbedaan agama, kesukuan dan etnis, campur tangan negara-negara asing khususnya Barat, perselisihan, kemiskinan dan buruknya kondisi ekonomi.
Di Suasana kondisi lingkungan brutal dan penuh kekacauan tersebut, anak-anak menjadi objek yang paling mudah untuk dieksploitasi. Selain terbunuh, anak-anak juga menjadi komoditi yang diperjual-belikan. Anak-anak perempuan diperjual-belikan dan dipelihara oleh gembong-gembong kejahatan untuk dijadikan mesin seks ketika saat mulai beranjak remaja.
Sedangkan anak-anak laki-laki diculik, diperjual belikan sebagian untuk dipanen organ tubuh mereka dan dijual ke pasar internasional dan sebagian lagi dipaksa untuk menjadi tentara anak dan menjadi umpan paling depan setiap terjadi konflik.
Meskipun orang dewasa memiliki kesiapan fisik lebih bagus dan pelatihan mereka lebih cepat, namun banyak kelompok militan yang memaksa mereka untuk merekrut anak-anak demi tujuan militer. Ini dikarenakan anak-anak dan remaja jauh lebih mudah dimanfaatkan untuk tujuan non-materi, seperti mendapatkan kehormatan dan kredibilitas sekaligus balas dendam, ketimbang orang dewasa.
Mengendalikan anak-anak dan menanamkan ideologi militer kepada mereka jauh lebih mudah daripada orang dewasa, karena kekuatan analisa dan identifikasi benar dan salah mereka lebih lemah dibanding orang dewasa.
Untuk menggembleng anak-anak yang masih berpikiran polos dan berhati bersih tersebut, agar menjadi bengis dan kejam, para kelompok militan bersenjata melakukan cara-cara yang juga sangat biadab.
Tak jarang, seorang anak kecil disuruh menembak mati seorang teman bermainnya sendiri dengan alasan untuk menunjukkan kesetiaan atau keberanian. Atau terkadang, seorang anak dipaksa memperkosa anak gadis lainnya di hadapan teman-temannya sendiri dengan alasan sebagai sebuah simbol kejantanan. Ketika mereka menolak, pilihannya hanya mati.
Hasilnya terbukti, dalam sejumlah pertempuran, para warga di sejumlah negara Afrika, lebih menakuti tentara anak-anak karena kebrutalan mereka. Anak-anak yang hati nuraninya sudah dikotori tersebut, tak segan-segan membumi-hanguskan sebuah desa atau mengeksekusi mati semua penduduknya tanpa memandang usia.
Bahkan, pasukan keamanan PBB yang ditempatkan di sejumlah negara konflik Afrika, mengakui lebih sulit menghadapi tentara anak-anak dibandingkan ancaman kelompokm bersenjata lainnya.
Antara Diperkosa atau Membunuh
Kekerasan dan pelecehan seksual adalah masalah lain yang dialami anak-anak di zona konflik. Laporan internasional menunjukkan bahwa puluhan anak telah menjadi korban pelecehan seksual dalam konflik di Afrika Tengah, Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo dan banyak negara Afrika.
Terungkapnya skandal eksploitasi seksual terhadap anak-anak dengan imbalan makanan yang disediakan oleh pasukan penjaga perdamaian Perancis di Afrika Tengah merupakan masalah yang masih belum jelas hingga kini.
Ini juga mencakup anak-anak yang sendirian atau bersama keluarga mereka mengungsi di kamp-kamp daerah lain, termasuk Eropa. Banyak dari anak-anak pengungsi ini tidak hanya mengalami pemerkosaan dan kekerasan, tapi juga banyak yang diperjual-belikan atau dibunuh dan organ mereka dijual.
Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) mengungkapkan, dari sekitar 500 ribu tentara anak-anak di Afrika, 40 persen diantaranya adalah perempuan.
Koordinator Komunikasi ICRC Layla Shtewi mengemukakan, "child soldiers" adalah hal yang paling ditakuti di Afrika, dimana anak-anak berusia di bawah 18 tahun, dilatih dan dipersenjatai untuk membunuh. "Meskipun mereka kadang-kadang masih suka bermain layaknya anak-anak lain di seluruh dunia, namun suatu waktu mereka dapat berubah menjadi `mesin pembunuh` yang menakutkan," tuturnya.
Maraknya senjata kecil dan ringan yang beredar di masyarakat ikut mendukung bertambahnya jumlah `child soldier` hingga memperburuk situasi di Afrika. "Di samping itu, dengan banyaknya anak perempuan yang menjadi `child soldier` mengakibatkan mereka menjadi rentan terhadap eksploitasi dunia anak dan pelecehan seksual.
Perang dan konflik juga meningkatkan gelombang imigrasi yang tidak diinginkan. Sekarang, di banyak negara Afrika yang terlibat perang, seperti Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo dan lain-lain, banyak warga yang berlindung di perbatasan, negara-negara tetangga dan kawasan yang lebih aman.
Dalam hal ini, anak-anak menghadapi kondisi yang lebih buruk. Banyak di antara mereka yang hidup terlantar dalam kelaparan tanpa akses air minum dan sanitasi. Banyak juga yang tinggal jauh dari keluarga dan di pengungsian dalam situasi yang sulit dan berbahaya. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan.
Pemanfaatan anak-anak sebagai tentara dilarang sesuai dengan Pasal 38 Konvensi Hak-Hak Anak, kelompok politik tidak boleh menggunakan anak berusia di bawah 15 tahun dalam perang.
Pasal 4 "Protokol Opsional untuk Partisipasi Anak-Anak dalam Perang" menekankan pihak-pihak yang berkepentingan untuk tidak membiarkan anak di bawah usia 18 tahun diizinkan berperang, dan perekrutan tersebut dilarang.
Namun, walau PBB sudah memberikan "warning,' nyatanya hingga detik ini, tentara anak-anak bukan hanya di Afrika, kawasan benua lainnya seperti di Amerika Latin, Timur Tengah, sebagian negara Asia dan bahkan kelompok kejahatan transnasional lainnya tetap menjadikan anak-anak sebagai tumpal bagi memenuhi nafsu dan ambisi mereka.(*)
Sumber: CNN/Parstoday/Reuters