"Ketahuan beli berapa roketnya, pelurunya. Mereka (negara asing) tahu Indonesia kalau perang dua hari selesai,"JAKARTA -- Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan Laksamana TNI (Purn) Sumardjono mengatakan alat utama sistem pertahanan atau alutsista yang dimiliki Indonesia belum ditakuti negara lain. Soalnya, Indonesia saat ini masih tergolong sebagai negara konsumen dalam hal pengadaan instrumen pertahanan itu.
“Kalau masih bergantung pada produk luar negeri, pertahanan kita belum bisa dikatakan absolut. Belum ditakuti,” ujar Sumardjono, seperti dilansir tempo.com, Kamis, 8 Februari 2018.
Hal tersebut disampaikan Sumardjono bersama tim KKIP saat bertemu Menko Polhukam Wiranto. Pertemuan perdana ini, kata dia, bertujuan untuk menyampaikan pandangan KKIP terhadap Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012 tentang industri pertahanan.
“Untuk menyamakan persepsi aja ya supaya kami dalam menyikapi UU itu dalam persepsi yang sama sehingga pengadaan alutsista akan lebih cepat,” tutur Sumardjono.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut ini mengatakan saat ini industri pertahanan Indonesia belum sepenuhnya mandiri. Sebagian besar masih bergantung pada produsen luar negeri ihwal pengadaan alutsista.
Dengan begitu, melalui pertemuan ini Sumardjono berharap antara KKIP dan Kemenko Polhukam memiliki pandangan yang sama soal percepatan pengadaan alutsista. Ia juga menyampaikan agar kedepannya industri pertahanan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri.
Terkait masalah alutsista ini, beberapa saat yang lalu Direktur Utama PT Dahana, Harry Sampurno pernah mengatakan, kekuatan militer Indonesia lemah di mata negara lain. Jika berperang, diperkirakan Indonesia hanya mampu bertahan selama dua hari.
Lagi-lagi penyebab lemahnya kekuatan Indonesia karena peralatan perangnya yang sebagian besar masih berasal dari impor. Menurutnya, karena berasal dari impor, maka negara lain mengetahui kuantitas dan kualitas senjata yang dimiliki Indonesia. Harry menjelaskan, jika industri militer dalam negeri bisa memproduksi senjata dan alat perang sendiri, maka Indonesia bakal disegani.
"Ketahuan beli berapa roketnya, pelurunya. Mereka (negara asing) tahu Indonesia kalau perang dua hari selesai," ujar petinggi BUMN produsen bahan peledak itu, di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (14/3).
Senada dengan pendapat Harry, Mantan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo pada 2013 lampau mengatakan, jika Indonesia menghadapi perang, negara kepulauan ini hanya bisa bertahan tiga hari. Ia mengungkapkan, Indonesia tidak punya cadangan strategis BBM yang disimpan secara khusus jika terjadi hal darurat seperti bencana alam atau perang.
"TNI enggak punya ketahanan energi. Pesawat ada, kapal ada, tapi (tangkinya) tidak bisa diisi dengan BBM. Cadangan BBM kita nol! Bandingkan dengan Malaysia yang punya 30 hari, Jepang, Korea, dan Singapura 50 hari," ujarnya.
Ucapan Susilo ini kemudian diunggah oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu di akun Twitternya pada 21 Februari 2015. Namun, cuitan itu dihapus karena bikin polemik. Meski apa yang diutarakan Susilo ini berusaha dibantah oleh rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo, nyatanya minim cadangan minyak strategis memang terjadi sampai sekarang.
Bahkan, Mantan Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang kepada Antara pada Januari 2017 mengakui kesusahan pihaknya menyuplai cadangan strategis. "Kami butuh tambahan sekitar 4 miliar dolar AS untuk infrastrukturnya agar cadangan minyak strategis bisa sampai 30 hari," katanya.
Sementara Indria Samego, peneliti hubungan militer-sipil dari LIPI, menyebut posisi daya tawar Indonesia terhadap negara-negara besar masih cukup lemah. Menurutnya, kepemilikan Sukhoi, Leopard, dan alutsista terbaru lain hanya memunculkan detterent effect alias efek kejut semata yang membuat musuh berpikir kembali ketika hendak menyerang.
"Tapi ya efek kejut itu tidak bisa disamakan bahwa TNI siap tempur dengan siapa pun. Jadi, alutsista sebagai komponen utama dalam perang ini belum bisa," katanya.
Kekuatan Militer Indonesia Melemah
Pergantian Presiden membawa perubahan kebijakan pertahanan Indonesia. Global Fire Power, situs yang selama ini memberikan penilaian kekuatan militer sebuah negara, pada saat 2017, menempatkan Indonesia pada posisi 14 negara terkuat di dunia. Peringkat ini cukup membaik setelah sebelumnya sempat terjunam pada peringkat 19.
Kenaikan peringkat ini dipicu dengan datangnya sejumlah alutsista seperti MBT Leopard, pesawat tempur dan peralatan militer lainnya, yang telah dipesan dan dibeli pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setelah sebelumnya sempat disalip rankingnya oleh Jepang, Taiwan, Kanada, dan Polandia.
Kendati anjlok, TNI tetap memiliki kekuatan terbesar di kawasan, terutama bila dibandingkan tetangga dari Asia Tenggara. Kekuatan Indonesia pun masih setingkat di atas Australia.
Merujuk keterangan Power Index versi situs Global Fire Power, penurunan ini lebih disebabkan karena belanja pertahanan yang kalah agresif dibanding beberapa negara lainnya.
Tahun 2014 pemerintahan SBY memang memilih mengalihkan anggaran pertahanan untuk menutup biaya Subsidi BBM yang membengkak karena harga minyak dunia sempat menembus level $130/barrel.
Pada 2015 di era Pemerintahan Jokowi yang seharusnya banjir duit karena subsidi BBM dihapuskan. TNI hanya kebagian jatah 96 Triliun dengan pembagian 68% untuk gaji prajurit dan pegawai, sisanya hanya 32% untuk belanja alutsista. Total APBN 2015 mencapai 2000 Triliun dan ada duit menganggur dari penghapusan subsidi BBM sebesar 330 Triliun dalam APBN-P yang diajukan Jokowi.
Di tengah kondisi tragis tersebut, Indonesia justru akan semakin menghadapi permasalan yang kompleks di masa depan terkait dengan pertahanan negara. Data Global Fire Power menyebut AS adalah negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia, setelah Rusia, Cina, dan India.
Potensi bentrok antara kekuatan tempur AS, Cina, dan India membikin Indonesia, yang secara geografis berada di pusat konflik, seperti di perairan Natuna, otomatis terancam.
Terlebih alutsista Indonesia secara kuantitas dan kualitas kalah jauh dengan ketiga negara tersebut.
Soal ancaman ini, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo beberapa kali mengutarakan kerawanan berkonflik dengan Cina di Kepulauan Natuna, serta AS dan sekutunya Australia di Pulau Masela di Laut Timor.
"Sebagai Panglima TNI, saya melihat itu sebagai ancaman," ujar Gatot saat memaparkan kuliah umum di Universitas Indonesia pada November 2016.
Ucapan senada diungkapkan Kusnanto Anggoro, peneliti politik dan keamanan internasional sekaligus dosen di Universitas Pertahanan Indonesia. Ia menilai, dalam waktu 10 tahun ke depan, perang tradisional yang mengibaratkan pasukan asing menduduki Indonesia akan sulit terjadi. Tetapi ancamannya lewat jet tempur atau misil yang menyerang tempat-tempat strategis di Jakarta.
"Ini violence conflict, tak sempat perang tapi mati. Ini saya cemas karena berkaitan dengan teknologi berat dan TNI tidak punya kemampuan itu," katanya, dilansir Tirto.id.
Ia menilai, selama ini pembahasan soal perang di kalangan militer masih berkutat pada perang tradisional. "Kalau ada musuh, musuh biar masuk, lalu kita perang gerilya. Iya, kalau musuhnya kirim pasukan ke teritorial kita. Kalau serangan misil atau udara, kita mau gerilya apa?" katanya.
Kusnanto menilai rencana strategis dari program pembangunan kekuatan pertahanan—yang tertuang dalam kebijakan Minimum Essential Force hingga 2024, masih berkutat pada ancaman internal berupa "separatisme dalam negeri."
"Melihat konstelasi Cina di Laut Cina Selatan, kisruh mereka dengan India, dan penempatan pasukan AS di Darwin, saya tidak yakin TNI hanya cukup mengurus pertahanan internal sampai 2024. Harus ada rencana jangka panjang, kalau perlu hingga 2045. Apa yang dilakukan Cina saat ini saja dilakukan sejak 1970-an," jelasnya.
Basis kekuatan militer Amerika Serikat di kawasan Asia, yang mengunci dengan telak posisi Indonesia, hampir di empat penjuru mata angin. |
Tak hanya itu, Cina juga masih berekspansi di Samudera Hindia demi memperkuat infrastruktur maritim. Perusahaan China Merchant Port Holdings mengakuisisi Pelabuhan Hambantota, Sri Lanka.
Hal sama mereka lakukan saat membeli saham mayoritas di Pelabuhan Payra di ujung paling selatan Bangladesh. Perusahaan negara Cina yang berpusat di Hong Kong ini juga mengakuisisi 85 persen saham pembangunan pelabuhan laut dalam di Teluk Benggala, Myanmar.
Di Samudera Hindia, Cina menghadapi kekuatan tangguh India yang kini mengembangkan armada tempur dan laut. Dalam tiga tahun terakhir India bahkan jorjoran menambah anggaran alat utama sistem senjata (alutsista).
Pada 2016, data Stockholm International Peace Research Institute sebuah lembaga riset tentang keamanan global menyebut pengeluaran militer India meningkat sekitar 8,5 persen menjadi 55,9 miliar AS.
Ini menobatkan India sebagai negara pemboros anggaran pertahanan terbesar setelah AS, Cina, dan Rusia. Dalam satu dekade ke depan, India memproyeksikan menambah 60 kapal perang menjadi 200-an armada. Begitupun Angkatan Udara India yang diproyeksikan menambah pesawat tempur hingga 250 jet pada akhir 2025.
'Juluran lidah naga' mencapai wilayah Indonesia. China berambisi menguasai hampir 90 persen perairan di kawasan Laut China Selatan yang kaya sumber daya alam. |
Di Filipina, Pentagon berupaya kembali mengaktifkan 5 instalasi militer: 4 pangkalan udara dan 1 pelabuhan yang tersebar di Pulau Luzon, Mindanao, Cebu, dan Palawan. Jarak pangkalan ini hanya 400 kilometer dari fasilitas militer Cina di Kepulauan Spratly.
Pentagon bahkan merencanakan 60 persen kekuatan militer akan terfokus di Asia Pasifik pada 2020. Armada tempur ini terdiri 6 kapal induk dan puluhan kapal fregat, korvet, dan kapal selam.
Jika mengacu data resmi, kepemilikan alutsista TNI memang kalah jauh dibanding negara-negara besar yang akan berpotensi menjadi musuh Indonesia tersebut. Sebagai perbandingan, untuk armada udara saja, ancaman nyata dalam dekade ke depan, India memiliki 2.102 pesawat, Cina punya 2.955 pesawat, dan AS 13.762 pesawat.
Sedangkan Indonesia hanya memiliki 441 pesawat berbagai varian yang sebagian besar sudah berusia uzur dan bahkan tak laik terbang. Pesawat-pesawat tersebut diantaranya didominasi oleh 111 pesawat latih. Sementara jet tempur hanya 39 pesawat.
Untuk kekuatan tempur laut, India memiliki 295 kapal perang, Cina 714 kapal, dan AS punya 415 kapal, yang didominasi oleh kapal induk dan kapal selam. Sedangkan Indonesia hanya memiliki 221 kapal, yang lagi-lagi sebagian besar juga sudah tua dan tak layak operasi.
Postur alutsista ini berbanding jauh lagi jika membandingkan personel aktif pasukan antara tiga negara tersebut dengan Indonesia. TNI hanya punya 435 ribu tentara aktif, sedangkan India 1,3 juta serdadu, Cina 2,2 juta prajurit, dan AS 1,3 juta personel.
Ancaman Negara Versus Harapan Palsu
Sejumlah pengamat militer dengan narasi yang hampir sama, menyimpulkan, melihat besarnya ancaman militer dan keamanan yang akan dihadapi Indonesia, akan sangat naif jika RI menganggap remeh untuk tidak segera memperkuat 'otot-otot' militernya.
Ditambah lagi, Presiden Joko Widodo pada saat masih berstatus capres pada 2014 lampau, pada salah satu acara silaturahmi dengan para purnawirawan jenderal TNI-Polri (4/14), pernah berjanji akan memperkuat militer Indonesia hingga menjadi yang terkuat di kawasan, jika dirinya menjadi presiden.
Setidaknya berikut sejumlah janji Jokowi yang pernah dilontarkannya untuk memperkuat postur militer TNI;
1. Berjanji Akan Menambah Anggaran Pertahanan
Jokowi pernah berjanji akan menambahkan anggaran pertahanan keamanan, tapi dengan syarat pertumbuhan ekonomi di Indonesia harus mencapai tujuh persen. Jokowi juga menyatakan penambahan alokasi dana untuk pertahanan keamanan adalah hal yang penting.
"Pertama, penguatan sistem pertahanan nasional melalui angkatan perang terpadu, integratif. Kedua, peningkatan alokasi pertahanan, dengan catatan ekonomi kita tumbuh tujuh persen. Anggaran itu untuk kesejahteraan prajurit TNI, dan membangun industri ketahanan," kata Jokowi di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Selasa (3/6).
Fakta: Anggaran pertahanan dan alokasi dana untuk TNI pada era Presiden Jokowi terus menurun dan bahkan dipanggas. Kondisi pertumbuhan ekonomi nasional yang tak pernah beranjak dari 5 persen, membuat janji Jokowi tersebut hanya tinggal harapan.
2. Jadikan TNI Terkuat se-Asia
Jika dirinya terpilih menjadi presiden di Pilpres nanti. Salah satu janjinya adalah peningkatan kekuatan tempur agar menjadi yang terbaik se-Asia.
"Peningkatan kekuatan pertahanan menjadi kuat se-Asia, lebih jelasnya, saya kira ke depan kita akan hadapi sebuah tantangan. Tapi semuanya tergantung ke depannya akan kita selesaikan dengan cara apa," kata Jokowi, Selasa (3/6).
Fakta: Memasuki tahun ke-empat pemerintahannya, Jokowi belum mampu mewujudkan janji 'bombastis'nya tersebut. Bahkan, disaat negara-negara di kawasan Asia meningkatkan anggaran militernya, Indonesia di era Jokowi justru memangkas anggaran pertahanan, yang dipicu memburuknya kondisi perekonomian nasional.
3. Berjanji Akan Menambah Pesawat Tempur TNI AU
Untuk TNI Angkatan Udara (AU), Jokowi berjanji akan membelikan pesawat tempur canggih. Tak hanya itu, Jokowi juga menjanjikan pembelian radar baru dan pesawat angkut massal yang bisa digunakan untuk mengangkut penumpang dan logistik. Bukan cuma persoalan alutsista, Jokowi juga menjanjikan penambahan anggaran. "Juga penguatan personel," ungkap Jokowi.
"Kita bisa beli pesawat F16 dari Amerika Serikat, namun jangan bergantung pada satu negara. Karena masih ada Rafale dari Prancis dan Eurofighter Typhoon dari Eropa. Sehingga kita tidak akan bergantung pada satu negara tertentu," terang Jokowi, seperti dilansir Merdeka.com, Selasa (3/6).
Fakta: Belum ada penambahan pesawat tempur varian apapun di masa ke-empat kepemimpinan Jokowi. Bahkan, rencana pembelian pesawat tempur Sukhoi SU-35 yang sudah digagas sejak era Presiden SBY, hingga saat ini belum juga menemui titik kejelasan. Selain itu, Indonesia juga terancam batal dalam joint production pesawat tempur KFX-IFX, karena tidak mampu memenuhi kewajiban perjanjian antara kedua negara.
4. Beli Pesawat Pengintai Tanpa Awak
Jokowi mengaku akan memfokuskan pengembangan TNI Angkatan Darat dengan penguatan pengawasan lintas udara jika dirinya menang Pilpres. Caranya dengan membeli tiga pesawat pengintai tanpa awak yang akan mengudara di Indonesia. Jokowi juga akan menambah pembelian jumlah unit pesawat pengintai tanpa awak tersebut.
"Pengadaan pesawat tanpa awak yang dapat digunakan untuk memantau illegal logging dan illegal fishing, pantauan daerah rawan konflik di seluruh Indonesia, identifikasi kebakaran hutan secara real time sehingga dapat melakukan pemantapan satuan teritorial untuk deteksi dan cegah dini," kata Jokowi di depan purnawirawan TNI-Polri yang mendukung pencalonannya sebagai presiden, Selasa (3/6).
Fakta: Lagi-lagi janji Jokowi ini hanya menjadi harapan palsu bagi para pemerhati pertahanan. Sebab, hingga kini tidak ada pembelian pesawat UAV jenis apapun yang digunakan khusus untuk memantau illegal logging dan illegal fishing. TNI terpaksa harus tetap menggunakan pesawat UAV yang sangat terbatas untuk mengcover seluruh wilayah udara RI.
Sekarang dengan fakta-fakta yang ada, dan melihat ancaman yang akan dihadapi Indonesia semakin meningkat dan kompleks, masihkah Indonesia akan meremehkan untuk segera mengupgrade kekuatan militernya? Sekali lagi, hanya sejarah yang akan menjawab.(*berbagai sumber)