Tak Mampu Kalahkan Pejuang Taliban, AS Terjebak di Afghanistan - Jalur Militer

Tak Mampu Kalahkan Pejuang Taliban, AS Terjebak di Afghanistan

Seorang tentara yang terluka dari Resimen Artileri Lapangan 1-320, Divisi Lintas Udara ke-101 Angkatan Darat AS, dibantu melewati kendaraan lapis baja M-ATV yang terbakar akibat terkena ranjau bom Improvised Explosive Device (IED) yang dipasang oleh para pejuang Taliban di jalan dekat Combat Outpost Nolen di Lembah Arghandab, Afghanistan, 23 Juli 2010. (Foto: REUTERS / Bob Strong via boston.com)
"Cepat atau lambat, suka tidak suka, Amerika dan Afghanistan, akan menghadapi akhir perang. Saya kira sekarang ini tidak ada lagi pengamat yang melihat perang Afghanistan bisa dimenangkan AS,"
WASHINGTON DC -- Setelah melewati perang sangat panjang dengan biaya perang yang begitu besar, Amerika Serikat (AS) akhirnya mengakui tetap tidak bisa mengalahkan para pejuang Taliban di Afghanistan. 

Sejumlah analis AS bahkan menyatakan aksi "koboy" Amerika yang berusaha menginvasi Afghanistan selama 17 tahun lebih, kini sudah pupus.

Pejabat militer Amerika menyebut kelompok Taliban di Afghanistan belum sepenuhnya kalah. Amerika terpaksa melunakkan sikapnya dengan mengajak para milisi Taliban untuk duduk di meja perundingan, suatu sikap sangat mahal yang pernah ditunjukkan AS, setelah berulang kali mengalami kekalahan di negara itu.

"Mereka belum kalah sekarang, saya pikir itu adil untuk dikatakan. Kami bertemu jalan buntu pada tahun lalu, dan kami relatif mengajak berbicara, hal itu tidak banyak berubah," kata Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Joseph Dunford, saat berdiskusi di forum keamanan di Halifax, Kanada, dilansir  dari CNN.com, Senin (19/11).

Dunford menyatakan sementara ini tidak akan pernah ada jalan keluar dengan jalan militer untuk membawa perdamaian ke Afghanistan. Ia menyebut AS dan NATO akan bekerja untuk meningkatkan tekanan politik, dan ekonomi untuk meyakinkan kelompok Taliban.

"Tanpa menyebutkan rinciannya di sini, kami yakin Taliban tahu bahwa pada titik tertentu mereka harus melakukan rekonsiliasi. Kunci keberhasilan ini adalah menggabungkan seluruh tekanan itu untuk memberikan waktu yang insentif kepada Taliban untuk bernegosiasi," tegas Dunford.

Kemenangan Amerika di Afghanistan Telah Lenyap

Pengamat politik di RAND Corporation dan perwakilan khusus Kementerian Luar Negeri AS untuk Afghanistan dan Pakistan, Laurel Miller mengatakan, ambisi Amerika memenangkan perang di Afghanistan kini sudah pupus. Alih-alih menjadikan Afghanistan semakin kuat dan makmur, seperti propaganda militer yang selalu digaungkan, Amerika malah membuat masa depan Afghanistan semakin kacau menjadi tak menentu.

Tentara Nasional Afghanistan (ANA) berjaga di samping helikopter Chinook milik ISAF (AS) yang jatuh di distrik timur Kabul pada 26 Juli 2010, akibat ditembak jatuh oleh para pejuang Taliban, setelah terjadinya pertempuran sengit di sepanjang perimeter kamp pasukan koalisi di provinsi Kabul. (Foto: SHAH MARAI / AFP / Getty Images).
Pengamat ini menilai, setelah menghabiskan dana perang lebih dari USD 100 miliar dan ribuan nyawa melayang, setelah dua pekan paling berdarah di Kabul, Amerika kini tampaknya memilih status quo.

Miller menyebut strategi AS kini adalah mencegah kalahnya "pemerintahan boneka" Afghanistan dan mencegah kemenangan Taliban selama mungkin. 

"Cepat atau lambat, suka tidak suka, Amerika dan Afghanistan, akan menghadapi akhir perang. Saya kira sekarang ini tidak ada lagi pengamat yang melihat perang Afghanistan bisa dimenangkan AS," ujarnya.

Hal yang sama juga disampaikan Frances Z Brown, seorang pakar Afghanistan dari Carnegie Endowment for International Peace. Dilansir dari laman the New York Times, Kamis (1/2), Brown mengatakan, ada dua skenario yang kemungkinan akan terpaksa diambil oleh AS untuk menutupi kekalahannya dalam menaklukkan negara miskin tersebut.

Skenario pertama, koalisi Amerika akan mengabaikan upaya untuk membentuk negara terpusat dan memberikan kesempatan kepada rakyat Afghanistan untuk membangun negara mereka sendiri dari bawah.

Itu artinya pemerintah pusat hanya sebagai perantara di antara para pemimpin lokal dan pemimpin perang. Idealnya, seiring berjalannya waktu, Afghanistan akan menjalankan ekonominya kemudian merangkul demokrasi dan akhirnya mencapai perdamaian dan stabilitas.

Skenario ini menuntut toleransi bagi kehadiran Taliban di kawasan terpencil dan kondisi bisa memicu kemelut krisis lebih pelik. "Tapi dari kasus yang sudah-sudah ini semua butuh waktu bergenerasi," ujar Brown.

Seorang prajurit Angkatan Darat Afghanistan menembakkan granat berpeluncur roket ke arah milisi Taliban saat terjadi pertempuran di Combat Outpost Nolen, Lembah Arghandab di utara Kandahar 22 Juli 2010. Amerika dan sekutu dengan dibantu para tentara pemerintahan Afghanistan yang didukung Barat, bahu-membahu berusaha mengalahkan para pejuang Taliban. (Foto: REUTERS / Bob Strong via Boston.com)
Yang berikutnya adalah skenario ala Somalia. Yaitu Pemerintah Afghanistan akan melepaskan kota-kota besar dan beralih menjadi sistem federal, seperti yang dilakukan Somalia pada 2012. Kekuasaan bisa diraih oleh para tokoh masyarakat dan para pemimpin perang, termasuk Taliban yang bisa bangkit dari kawasan pedalaman.

Model Somalia ini bisa 'membantu' terjadinya perpecahan. Warga lokal bisa berupaya sendiri untuk berdamai dengan Taliban dan di beberapa daerah terpencil hal inilah yang sedang terjadi.

Bangkit Kembali Kekuatan Para Pejuang Taliban

Amerika Serikat sempat sesumbar bahwa misi mereka dalam menaklukkan para milisi Taliban yang digelari "teroris" telah sukses besar. Bahkan negara adidaya itu sempat mengejek Rusia yang terpaksa angkat kaki dari Afghanistan, saat Uni Soviet berusaha menginvasi negara itu. Tapi seperti Sebuah karma, hinaan itu justru berbalik dan kini Amerika seakan jadi pecundang di Afghanistan.

Sebuah penelitian yang dirilis BBC mengungkapkan, kelompok militan Taliban telah bergerak secara aktif di hampir 70 persen tanah Afghanistan. 


Penelitian itu menunjukkan, jumlah distrik yang dikuasai Taliban semakin meningkat sejak invasi AS dan sekutunya di negara tersebut dianggap berakhir pada 2014 lalu.

"Sekitar 15 juta warga Afghanistan tinggal di daerah yang dikontrol oleh gerakan radikal tersebut atau di distrik yang sering menjadi target serangan Taliban," ungkap penelitian BBC, dikutip dari Sputniknews.com, Rabu (31/1).

Taliban telah menguasai setidaknya 14 distrik di negara tersebut dan menunjukkan 'tanda-tanda' keberadaannya di 263 daerah lainnya.

Sersan Staf Brenden Patterson dari Skuadron Penyelamatan ke-58, Las Vegas, melakukan pemindaian untuk mencari basis-basis pertahanan para pejuang Taliban dengan menggunakan helikopter Pavehawk CASEVAC, di pegunungan tandus yang terletak di provinsi Kandahar, Afghanistan selatan pada Rabu 28 Juli 2010. Terlihat dilatar belakang para penembak jitu dan seorang tentara menggunakan senjata artileri berat. (Foto: Brennan Linsley / Boston.com)
Penelitian ini dilakukan dari 23 Agustus sampai 21 November tahun lalu, di mana wartawan BBC mewawancarai lebih dari 1.200 responden di setiap distrik di Afghanistan.

Tak hanya itu, studi tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok militan ISIS juga ikut 'hadir' di 30 dari 399 distrik di Afghanistan. Kebanyakan mereka bercokol di wilayah utara dan timur, namun tidak memiliki kendali penuh atas distrik manapun.

Penelitian tersebut diperkuat oleh Ombudsman AS yang mengeluarkan laporan bahwa Taliban semakin kuat berkuasa di Afghanistan selama tiga tahun terakhir. Berdasarkan laporan itu, pemerintah Afghanistan hanya menguasai 56 persen dari negara itu, angka itu menurun dari 72 persen pada 2015.

Amerika dengan dibantu sekutu, terus berusaha mencegah bangkitnya dominasi Taliban dengan terus mempersenjatai pasukan militer pemerintahah Afghanistan, namun tetap tidak membuahkan hasil.


Rezim Presiden Donald Trump yang dikenal congkak dan sombong pun mengakui situasi ini. Menteri Pertahanan AS, James Mattis mengatakan Amerika kelelahan terus berupaya melindungi pemerintah Afghanistan di tengah meningkatnya serangan yang dilakukan Taliban.

Terbukti tentara AS tidak mampu memberikan perlindungan saat lebih dari seribu orang pasukan Afghanistan tewas dan terluka saat melindungi pemilihan parlemen Afghanistan pada Oktober lalu.

"Mereka bertahan di medan pertempuran. Taliban telah dicegah untuk mengambil dan menguasai berbagai wilayah di provinsi serta menganggu pemilihan, namun tidak dapat dihentikan," kata Mattis.

Para pejuang Taliban yang sering digelari "Sang Singa Pegunungan," karena menjadikan pegunungan tandus yang banyak terdapat di Afghanistan sebagai basis pertahanan mereka. Taliban sering melancarkan serangan mematikan menghadapi pasukan Amerika dan Sekutu dari wilayah pegunungan, yang mana teknologi perang Barat hampir tidak berfungsi secara baik di wilayah tersebut. (Foto: Allauddin Khan / AP via sputniknews.com)
Memang sebelumnya, sesaat setelah dilantik sebagai Presiden AS, Donald Trump sempat mengumumkan akan meningkatkan jumlah pasukan AS menjadi 14 ribu tentara untuk menghadapi Taliban.

Trump berencana akan menekan Taliban dengan kekuatan militer penuh, sehingga memaksa Taliban agar bersedia menyelesaikan konflik melalui penyelesaian politik. Langkah itu diyakini bisa mengakhiri perang tersebut. Namun, Trump menarik kembali gagasan tersebut setelah Taliban melakukan serangan mematikan di Kabul yang menewaskan ratusan orang.


Tersudut dengan peliknya situasi, AS berupaya menarik Taliban ke meja perundingan dengan cara yang lebih halus, setelah parlemen AS menolak menurunkan pasukan tambahan, yang sebelumnya telah menelan dana perang terbesar yang pernah dikeluarkan Amerika sejak perang Dunia II.

AS telah berulang kali mengirim utusan untuk berbicara dengan Taliban, diantaranya mengutus mantan Duta Besar AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad untuk berdiskusi dan berunding dengan Taliban. 


Namun hingga kini, masih belum ada kemajuan untuk mengakhiri perang berkepanjangan di Afghanistan. Para pejuang Taliban tetap pada pendirian mereka bahwa Amerika Serikat dan seluruh kekuatan sekutunya harus angkat kaki dari bumi Afghanistan dengan tanpa syarat apapun, baru permusuhan dan peperangan dapat dihentikan.

Aksi koboy dan sok jagoan yang dipertontokan AS dan sekutunya dengan menginvasi Afghanistan awalnya didasarkan oleh alasan palsu yang dirancang oleh Amerika sendiri. AS menuduh kelompok Taliban yang sebelumnya memerintah di Afghanistan, memberikan perlindungan kepada Al-Qaeda dan pemimpinnya Usamah Bin Laden, yang dituduh sebagai dalang serangan 11 September 2001 atau 9/11.

Amerika dan sekutu akhirnya menggelar operasi militer besar-besaran untuk menjatuhkan Taliban dan menguasai Afghanistan. AS berhasil menumbangkan pemerintahan Taliban dan mendudukkan pemerintahan baru versi Barat yang dianggap lebih demokratis.

Para pejuang Taliban merupakan pasukan milisi terkuat yang pernah ada di muka bumi saat ini. Hanya dengan menggunakan persenjataan yang sangat tua, usang dan kuno, para kombatan Taliban mampu mengalahkan pasukan militer dua negara adidaya dunia, yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat beserta kekuatan sekutunya, saat mencoba menginvasi Afghanistan. (Foto: AFP/Getty )
Namun, AS tidak benar-benar berhasil menaklukkan para pejuang Taliban yang dalam sejarah dikenal sebagai salah bangsa petarung terkuat di muka bumi tersebut. Setelah kembali mengkonsolidasikan kekuatan yang sebelumnya sempat tercerai berai, Taliban kembali bangkit dan memberikan perlawan balik terhadap AS dan sekutunya.

Kini, Amerika terjebak dalam perang berkepanjangan di Afghanistan. Negara yang selalu menganggap diri sebagai polisi dunia tersebut seakan memakan "buah simalakama," yakni jika meneruskan aksi militernya di Afghanistan, akan semakin banyak dana yang harus digelontorkan dan korban yang tewas di pihak AS juga akan semakin bertambah.

Namun, jika menarik diri secara penuh dari bumi Afghanistan, artinya AS sudah benar-benar kalah, dan kampanye militer yang sudah mereka lakukan di negara tersebut selama lebih dari satu dekade akan menjadi sia-sia dengan kembalinya Taliban menguasai pemerintahan resmi Afghanistan. (jm)
ads 720x90

#Tags

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Comment
Disqus