"kami orang Eropa benar-benar harus mengambil nasib kami ke tangan kami sendiri."BERLIN -- Kanselir Jerman Angela Merkel menyerukan pembentukan pasukan militer Uni Eropa secara nyata, menyikapi rencana Amerika Serikat (AS) yang akan keluar dari perjanjian pembatasan senjata nuklir jarak menengah (INF).
Pernyataan Merkel ini sekaligus mendukung usulan serupa yang sudah pernah dilontarkan Presiden Perancis Emmanuel Macron untuk membuat pasukan gabungan Uni Eropa pekan lalu.
Merkel secara terang-terangan mendukung usulan Macron terkait perencanaan pertahanan Eropa baik melalui operasi militer maupun pengembangan senjata. Menurut Merkel, pasukan militer Uni Eropa tidak akan merusak aliansi yang dibentuk lewat Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO.
"Kami harus bekerja pada visi membangun militer Eropa yang nyata. Pasukan militer Uni Eropa bisa jadi pelengkap NATO," tegas Merkel saat berpidato di Parlemen Eropa seperti dikutip Reuters, Selasa (13/11).
Sejak tahun 2013, Jerman telah mengambil kebijakan pengintegrasian sistem pertahanan yang lebih erat dengan sejumlah negara anggota Uni Eropa. Jerman berbagi pasukan dan kemampuan dengan negara-negara Eropa lainnya.
Dua brigade Belanda telah diintegrasikan ke dalam Divisi Respons Cepat Bundeswehr dan Divisi Lapis Baja ke-1. Jerman juga melakukan hal yang sama untuk pasukan Ceko dan Rumania.
Dalam banyak hal, Jerman sering bersilang pendapat dan kebijakan dengan Prancis, Namun soal menghadapi arogansi AS di benua Eropa, Jerman dan Prancis berada dalam visi dan misi yang sama. Kedua negara kuat ini berangggapan bahwa sudah saatnya "menendang" Amerika dari kawasan tersebut.
Sebelumnya Macron menegaskan bahwa Benua Biru harus mulai mengurangi ketergantungan kepada AS. Macron menyerukan agar dibentuk sebuah pasukan militer Eropa untuk menangkal ancaman dari AS, Rusia, dan China.
Pernyataan ini disampaikan Macron terkait sikap AS yang disebut akan keluar dari kesepakatan bernama Perjanjian Nuklir Jarak Menengah (INF). Menurut Macron, Eropa akan menjadi korban jika AS keluar dari perjanjian yang melarang AS maupun Rusia membuat rudal dengan jangkauan 500 hingga 5.500 kilometer tersebut.
Macron menegaskan perlindungan terhadap masyarakat Eropa akan terwujud melalui pasukan militer Eropa yang tangguh tanpa harus bergantung pada AS. Macron menyerukan dibentuknya pasukan khusus gerak cepat dari sembilan negara Eropa yang sifatnya bebas dari campur tangan NATO.
Pernyataan Macron membuat Presiden AS Donald Trump kesal. Melalui akun twitter pribadinya pada 9 November lalu, Trump menuding Macron sedang berusaha membangun pasukan militernya sendiri untuk melawan AS.
Hari ini, Selasa (13/11) Trump kembali berkicau dan membidik Macron. Trump mengecam Perancis yang kalah pada dua perang dunia karena dekat dengan Jerman. Tak hanya itu, Trump juga menyinggung industi anggur Perancis.
Menurut Trump, AS dipersulit untuk mengirim anggur ke Perancis karena dikenakan tarif besar. Trump juga menyinggung tingkat akseptabilitas Macron di Perancis yang terus menurun karena meningkatkan angka pengangguran.
Upaya Uni Eropa Keluar dari Cengkraman Amerika Serikat
Usulan pembentukan pasukan khusus Uni Eropa yang lepas dari pengaruh Amerika dan NATO sebenarnya sudah diajukan oleh sejumlah tokoh dan petinggi Uni Eropa, dan bahkan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker telah membicarakannya empat tahun lalu.
Kepada surat kabar Die Welt pada 2015 Jucker mengatakan bahwa, "sebuah pasukan Eropa yang umum akan menyampaikan pesan yang jelas kepada Rusia bahwa kami serius membela nilai-nilai Eropa kami."
Usulan Jucker yang rencana awalnya hanya untuk menghadapi militer Rusia, kini semakin berkembang setelah menilai bahwa AS bukan lagi sekutu yang jujur bagi kawasan itu. Ditambah lagi kebangkitan militer China juga menjadi ancaman baru bagi eksistensi Uni Eropa.
Pada bulan Maret, Uni Eropa juga mengumumkan pembukaan "markas militer gabungan." Namun, Menteri Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini mengatakan bahwa markas militer gabungan itu "bukan tentara Eropa."
Pada awal November, Presiden Emmanuel Macron menyerukan pembentukan tentara Eropa yang akan independen dari Amerika Serikat, menekankan bahwa Prancis baru-baru ini menghadapi beberapa upaya oleh kekuatan luar untuk ikut campur dalam urusan domestik dan cyber security.
Secara khusus, presiden Prancis menyebutkan ancaman yang diduga datang dari Cina, Rusia, dan Amerika Serikat. Kanselir Jerman Angela Merkel menyuarakan dukungannya untuk gagasan itu.
Merkel menyatakan bahwa Eropa tidak dapat lagi bergantung pada sekutunya di Inggris dan Amerika Serikat dan bahwa "kami orang Eropa benar-benar harus mengambil nasib kami ke tangan kami sendiri."
Pada bulan Desember, negara-negara anggota UE, kecuali Denmark, Malta, dan Kerajaan Inggris, mengadopsi keputusan untuk membentuk Kerja Sama Terstruktur Permanen (PESCO). Negara-negara menyepakati daftar 17 proyek yang akan dilakukan di bawah PESCO, termasuk pelatihan, pengembangan kemampuan, dan kesiapan pertahanan operasional.
Musim panas ini, Komisi Eropa mengusulkan peningkatan investasi keamanan sebesar 40 persen dalam anggaran 2021-2027. Blok tersebut juga mendukung Program Pengembangan Industri Pertahanan Eropa (EDIDP), yang bertujuan untuk mendanai pengembangan produk dan peningkatan teknologi baru.
Program ini akan diluncurkan sebagai bagian dari Dana Pertahanan Uni Eropa, yang dibentuk pada 2017 untuk mengoordinasikan investasi negara-negara Uni Eropa dalam pertahanan, penelitian, dan perolehan teknologi dan peralatan militer baru.
Presiden Perancis Emmanuel Macron, salah satu pemimpin Eropa yang paling keras menetang hegemoni dan arogansi Amerika Serikat di kawasan Eropa. (Foto: Reuters) |
Dalam resolusi itu sudah dibuat sebuah draft yang mewajibkan setiap anggota mendedikasikan 2 persen PDB negara anggota untuk pertahanan, mendirikan pasukan multinasional UE, yang memungkinkan blok tersebut bertindak dalam situasi apa pun di mana "NATO tidak mau."
Masalah anggaran pertahanan, tidak semua negara di kawasan itu yang setuju dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Namun, sejumlah negara dengan sukarela menyatakan menyetujuinya. Brussels adalah salah satu negara yang menyatakan siap menggelontorkan dana lebih untuk pembentukan aliansi baru.
Bahkan, salah satu negara termakmur di dunia tersebut telah meluncurkan Dana Pertahanan Eropa, dan berkomitmen untuk menginvestasikan hingga lebih dari € 5 milyar per tahun setelah 2020 untuk mengembangkan dan mendapatkan teknologi militer terbaru.
Saat ini, UE sedang mempertimbangkan tiga skenario integrasi. Pertama skenario "Keamanan dan Kerja Sama Pertahanan." Skenario pertama ini lebih longgar dan ringan, karena negara-negara anggotanya hanya secara sukarela berkontribusi dan akan mengeluarkan anggaran masing-masing jika ada ancaman keamanan kasus per-kasus.
Kedua, skenario "Keamanan Bersama dan Pertahanan." Skenario kedua ini lebih ketat, karena mengharuskan dan mewajibkan negara-negara anggota memperkuat pertahanan mereka dengan berkontribusi mengerahkan seluruh aset keuangan dan operasional pertahanan masing-masing anggota.
Opsi terakhir, adalah skenario "Pertahanan Umum dan Keamanan." Ini adalah langkah paling tegas dan nyata, karena pembentukan kebijakan pertahanan UE bersama akan dibangun berdasarkan Pasal 42 dari Traktat UE.
Skenario terakhir ini akan menganggap setiap ancaman dari negara musuh akan dipandang sebagai ancaman bagi seluruh negara anggota. Seluruh persenjataan, perangkat militer, teknologi, operasional dan bahkan strategi setiap negara anggota UE akan diintegrasikan menjadi satu kesatuan untuk menghadapi dan menggempur serangan musuh.
Dari sejumlah skenario yang ada, kendala terbesar pembentukan aliansi adalah tidak adanya dukungan dari negara terkuat di Eropa, yaitu Inggris. Sejumlah usulan, dan rencana integrasi yang diajukan, selalu ditolak oleh Inggris. Negara kerajaan tertua di dunia itu tetap 'ngotot' dengan pendiriannya yang akan keluar dari Uni Eropa dan berdiri dengan kaki sendiri.
Sejak Inggris mengambil kebijakan keluar dari Uni Eropa yaitu lebih dikenal dengan Brexit, London merasa tidak memiliki kewajiban apapun dengan UE dan tidak akan ikut campur dengan setiap kebijakan yang akan dibuat oleh persekutuan.
Namun, tidak mengajak Inggris sebagai negara besar di benua itu dalam rencana pembentukan aliansi baru oleh sejumlah analis Barat juga dianggap merupakan sebuah keanehan.
Sejak Donald Trump berkuasa, hubungan Amerika dengan Uni Eropa semakin memanas akibat kebijakan Trump yang dianggap merugikan di kawasan tersebut. Trump sudah berkali-kali mengeluarkan pernyataan provokatif dan menyerang terhadap sejumlah negara yang menjadi sekutunya di NATO.
Trump pernah mengeluarkan pernyataaan bernada hinaan yang menuduh bahwa banyak negara-negara Uni Eropa yang 'memakan pajak Amerika' karena tidak mau meningkatkan anggaran pertahanannya untuk mendukung operasional NATO. AS menganggap mereka sudah merugi karena setiap tahun terus mengeluarkan anggaran besar untuk melindungi para anggota NATO.
Tuduhan Trump tersebut tentu saja langsung dibantah oleh negara-negara kuat di kawasan tersebut. Prancis bahkan mengingatkan Trump agar tidak memperlakukan negara mereka seperti anak kecil yang mudah diatur sesukanya. Inggris dan Jerman bahkan membalas dengan perlakuan kebijakan ekonomi ketat terhadap AS.
Sejumlah pengamat dan analis militer dunia menyatakan, Amerika di bawah rezim Trump berusaha untuk mendominasi dan mengendalikan NATO maupun Uni Eropa seutuhnya. Hal inilah yang menimbulkan keretakan dan ketidakpercayaan antara Amerika dengan para sekutu tradisionalnya di Uni Eropa. (jm)