RAKHINE -- Kelompok advokasi Fortify Rights melaporkan, militer Myanmar secara sistematis merencanakan kampanye genosida untuk menyingkirkan Muslim Rohingya. Laporan tersebut didasarkan dari kesaksian dari 254 orang yang selamat, pejabat dan pekerja selama periode 21 bulan.
Organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2013 oleh Matthew F. Smith, seorang aktivis hak asasi manusia tersebut menjelaskan, dimulai pada bulan Oktober 2016, pejabat militer Myanmar secara sistematis menghancurkan semua benda dan alat-alat yang bisa dijadikan senjata untuk membeli diri oleh muslim Rohingya.
Militer juga menghancurkan pagar di sekitar rumah-rumah Rohingya agar serangan lebih mudah dilakukan.
Militer Myanmar juga melatih etnis Rakhine yang beragama Budha dan menjadikannya sebagai pasukan milisi. Warga Budha yang sudah dilatih itu bertugas untuk memburu dan menghabisi umat muslim Rohingya yang masih bersembunyi di pelosok-pelosok desa.
Tidak hanya itu, Myanmar juga mematikan dan menutup akses keran bantuan internasional untuk komunitas Rohingya yang miskin
Myanmar juga mengirim pasukan militer dalam jumlah besar ke Rakhine utara. Setidaknya 27 batalion Angkatan Darat Myanmar berjumlah 11.000 tentara, tiga batalion polisi tempur dengan 900 personil, berpartisipasi dalam pertumpahan darah yang dimulai pada akhir Agustus dan berlanjut selama berminggu-minggu sesudahnya.
Laporan 162 halaman itu mengatakan bahwa eksodusnya sekitar 700.000 Muslim Rohingya ke Bangladesh tahun lalu dipicu oleh serangan brutal militan Budha yang dibekingi oleh pasukan militer Myanmar.
Dipersenjatai dengan pedang, etnis Rakhine yang dikomandoi oleh para biksu Budha radikal melakukan pembantaian massal, pemerkosaan dan pembakaran desa-desa muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Militer Myanmar menjadi pengarah langsung dalam aksi kejam dan brutal tersebut.
Sekitar 22 pejabat militer dan polisi yang diantaranya Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing, Wakil Senior Jenderal Soe Win dan kepala staf umum Jenderal Mya Tun Oo, bertanggung jawab langsung atas kampanye pembersihan etnis tersebut.
Fortify Rights merekomendasikan agar Dewan Keamanan PBB menyeret mereka ke Pengadilan Pidana Internasional.
Untuk menutupi kekejamannya, Myanmar juga berusaha menutupi akses informasi dan media massa ke wilayah-wilayah konflik. Dua wartawan Reuters yang menyelidiki peristiwa itu ditangkap.
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo ditahan polisi saat membawa peta dan dokumen yang berkaitan dengan kawasan itu, di Yangon. Militer Myanmar langsung mengajukan tuntutan terhadap wartawan di bawah Undang-undang Rahasia Resmi, yang menjatuhkan hukuman penjara maksimal 14 tahun.
Namun, hingga kini pemerintah Myanmar masih membantah telah melakukan genosida terhadap Rohingya. Bahkan beralasan bahwa laporan pembunuhan massal dan perkosaan adalah rekayasa yang diciptakan oleh ratusan ribu orang Rohingya yang sekarang tinggal di kamp pengungsi yang kumuh di Bangladesh.
Pemerintah militer dan sipil Myanmar secara konsisten berkilah tindakan kejam itu sebagai "operasi pembebasan" dari "teroris" Muslim.
Para perwira militer, termasuk Panglima Militer, Jenderal Senior, Min Aung Hlaing, berdalih militer bereaksi karena untuk membalas serangan mematikan oleh Arakan Rohingya Salvation Army pada bulan Oktober 2016 dan Agustus 2017.
"Tidak ada pembersihan genosida dan etnis di Myanmar. Ya, ada pelanggaran hak asasi manusia, dan pemerintah akan mengambil tindakan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia," kata U Zaw Htay, juru bicara pemerintah.
Namun, PBB dan sejumlah lembaga kemanusiaan dunia menolak alasan Myanmar yang menjadikan milisi ARSA sebagai dalih untuk melakukan pembantaian muslim Rohingya.
Sebab, militer Myanmar terbukti telah menganiaya Rohingya jauh sebelum serangan ARSA pada pos pasukan keamanan di Rakhine.
Latar belakang nyata dari kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar adalah diskriminasi yang disponsori negara terhadap Rohingya dan juga kekebalan hukum yang digunakan militer.
Laporan menunjukkan bahwa ARSA memang melakukan serangan terhadap sejumlah pos polisi dan barak militer tentara Myanmar di Rakhine, tapi serangan tersebut lebih sebagai upaya pembelaan diri dari etnis yang teraniaya tersebut.
PBB menyatakan, Militer Myanmar menyerang pria dan wanita Rohingya, anak-anak dan orang tua, di seluruh desa, dan tidak berusaha membedakan antara pejuang ARSA bersenjata dan penduduk Rohingya yang lebih luas.
Dewan Keamanan PBB sudah berulang kali berupaya menjatuhkan sanksi untuk Myanmar, agar menghentikan pembantaian muslim Rohingya, tetapi selalu mendapat tentangan dan penolakan dari China dan Rusia yang merupakan sekutu defacto Myanmar. (ju)
Organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2013 oleh Matthew F. Smith, seorang aktivis hak asasi manusia tersebut menjelaskan, dimulai pada bulan Oktober 2016, pejabat militer Myanmar secara sistematis menghancurkan semua benda dan alat-alat yang bisa dijadikan senjata untuk membeli diri oleh muslim Rohingya.
Militer juga menghancurkan pagar di sekitar rumah-rumah Rohingya agar serangan lebih mudah dilakukan.
Militer Myanmar juga melatih etnis Rakhine yang beragama Budha dan menjadikannya sebagai pasukan milisi. Warga Budha yang sudah dilatih itu bertugas untuk memburu dan menghabisi umat muslim Rohingya yang masih bersembunyi di pelosok-pelosok desa.
Tidak hanya itu, Myanmar juga mematikan dan menutup akses keran bantuan internasional untuk komunitas Rohingya yang miskin
Myanmar juga mengirim pasukan militer dalam jumlah besar ke Rakhine utara. Setidaknya 27 batalion Angkatan Darat Myanmar berjumlah 11.000 tentara, tiga batalion polisi tempur dengan 900 personil, berpartisipasi dalam pertumpahan darah yang dimulai pada akhir Agustus dan berlanjut selama berminggu-minggu sesudahnya.
Laporan 162 halaman itu mengatakan bahwa eksodusnya sekitar 700.000 Muslim Rohingya ke Bangladesh tahun lalu dipicu oleh serangan brutal militan Budha yang dibekingi oleh pasukan militer Myanmar.
Dipersenjatai dengan pedang, etnis Rakhine yang dikomandoi oleh para biksu Budha radikal melakukan pembantaian massal, pemerkosaan dan pembakaran desa-desa muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Militer Myanmar menjadi pengarah langsung dalam aksi kejam dan brutal tersebut.
Tentara Myanmar membakar rumah-rumah warga Rohingya di berbagai pelosok desa di wilayah negara bagian Rakhine. (Foto: Istimewa) |
Fortify Rights merekomendasikan agar Dewan Keamanan PBB menyeret mereka ke Pengadilan Pidana Internasional.
Untuk menutupi kekejamannya, Myanmar juga berusaha menutupi akses informasi dan media massa ke wilayah-wilayah konflik. Dua wartawan Reuters yang menyelidiki peristiwa itu ditangkap.
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo ditahan polisi saat membawa peta dan dokumen yang berkaitan dengan kawasan itu, di Yangon. Militer Myanmar langsung mengajukan tuntutan terhadap wartawan di bawah Undang-undang Rahasia Resmi, yang menjatuhkan hukuman penjara maksimal 14 tahun.
Namun, hingga kini pemerintah Myanmar masih membantah telah melakukan genosida terhadap Rohingya. Bahkan beralasan bahwa laporan pembunuhan massal dan perkosaan adalah rekayasa yang diciptakan oleh ratusan ribu orang Rohingya yang sekarang tinggal di kamp pengungsi yang kumuh di Bangladesh.
Pemerintah militer dan sipil Myanmar secara konsisten berkilah tindakan kejam itu sebagai "operasi pembebasan" dari "teroris" Muslim.
Para perwira militer, termasuk Panglima Militer, Jenderal Senior, Min Aung Hlaing, berdalih militer bereaksi karena untuk membalas serangan mematikan oleh Arakan Rohingya Salvation Army pada bulan Oktober 2016 dan Agustus 2017.
"Tidak ada pembersihan genosida dan etnis di Myanmar. Ya, ada pelanggaran hak asasi manusia, dan pemerintah akan mengambil tindakan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia," kata U Zaw Htay, juru bicara pemerintah.
Namun, PBB dan sejumlah lembaga kemanusiaan dunia menolak alasan Myanmar yang menjadikan milisi ARSA sebagai dalih untuk melakukan pembantaian muslim Rohingya.
Tentara dan polisi Myanmar membumi hanguskan desa-desa warga etnis Rohingya dan membantai setiap muslim Rohingya yang berhasil mereka temui. (Foto: Istimewa) |
Latar belakang nyata dari kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar adalah diskriminasi yang disponsori negara terhadap Rohingya dan juga kekebalan hukum yang digunakan militer.
Laporan menunjukkan bahwa ARSA memang melakukan serangan terhadap sejumlah pos polisi dan barak militer tentara Myanmar di Rakhine, tapi serangan tersebut lebih sebagai upaya pembelaan diri dari etnis yang teraniaya tersebut.
PBB menyatakan, Militer Myanmar menyerang pria dan wanita Rohingya, anak-anak dan orang tua, di seluruh desa, dan tidak berusaha membedakan antara pejuang ARSA bersenjata dan penduduk Rohingya yang lebih luas.
Dewan Keamanan PBB sudah berulang kali berupaya menjatuhkan sanksi untuk Myanmar, agar menghentikan pembantaian muslim Rohingya, tetapi selalu mendapat tentangan dan penolakan dari China dan Rusia yang merupakan sekutu defacto Myanmar. (ju)