"Bush dan Blair "harus diadili sebagai penjahat perang bukan hanya karena mereka adalah orang-orang yang mengumandangkan alasan untuk perang ini, tetapi juga karena mereka harus bertanggung jawab atas kematian jutaan warga Irak sejak tahun 2003,"KAIRO -- Kebenaran latar belakang invasi militer yang dilakukan Amerika Serikat beserta sekutunya di Iraq kini semakin terkuak. Mantan wakil Perdana Menteri Inggris John Prescott mengatakan Inggris telah melanggar hukum internasional saat menginvasi Irak pada 2003. Prescott merupakan wakil perdana menteri saat keputusan itu dibuat.
Sebuah penyelidikan tujuh tahun pada Rabu (6/9) menyimpulkan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair gagal dalam perencanaan dan penanganan keterlibatan Inggris dalam perang Irak.
Delapan bulan sebelum invasi 2003, Blair mengatakan kepada Presiden Amerika Serikat George W Bush bahwa ia akan ikut apapun keputusan AS. Inggris akhirnya mengirim 45 ribu tentaranya berperang padahal itu bukan pilihan akhir.
Prescott menulis di surat kabar Sunday Mirror mengatakan, sekarang dia harus mengubah pandangannya mengenai legalitas perang. Ia mengecam Blair karena menghentikan menteri-menterinya untuk mendiskusikan sepenuhnya sebelum memutuskan apakah perang legal.
"Pada 2004, Sekjen PBB Kofi Annan mengatakan perubahan rezim sebagai tujuan utama Perang Irak adalah ilegal. Dengan sangat sedih dan marah, sekarang saya percaya ia benar," kata Prescott seperti dilansir Reuters Sabtu (9/7).
Ia menambahkan akan hidup dengan konsekuensi keputusan perang dan bencana itu selama sisa hidupnya. Prescott menambahkan, ia mendukung keputusan pemimpin Partai Buruh Jeremu Corbyn untuk meminta maaf terkait perang tersebut atas nama partai.
Banyak warga Inggris ingin Blair menghadapi pengadilan kriminal atas keputusannya. Sebab keputusan itu telah menyebabkan kematian 179 tentara Inggris dan lebih dari 150 ribu warga sipil Irak selama enam tahun berikutnya.
Seret Bush dan Blair ke Pengadilan Kejahatan Perang!
Komite Luar Negeri parlemen Mesir membuat permohonan dalam pernyataan yang dirilis pada hari Jumat (6/7), dua hari setelah laporan penyelidikan Sir John Chilcot yang ditunggu-tunggu, tentang partisipasi Inggris dalam perang Irak, telah menemukan bahwa intervensi militer (AS dan Inggris) didasarkan pada cacat intelejen.
Parlemen Mesir. (Foto: Istimewa) |
"Bush dan Blair "harus diadili sebagai penjahat perang bukan hanya karena mereka adalah orang-orang yang mengumandangkan alasan untuk perang ini, tetapi juga karena mereka harus bertanggung jawab atas kematian jutaan warga Irak sejak tahun 2003," pernyataan itu menambahkan.
Laporan 6.000-halaman Chilcot menyimpulkan pada hari Rabu (6/7) bahwa London bergabung dengan invasi pimpinan AS ke Irak sebelum opsi diplomatik dituntaskan. "Tidak ada ancaman dari Saddam Hussein pada Maret 2003 dan aksi militer itu "bukan pilihan terakhir," tambahnya.
Di tempat lain dalam pernyataan mereka, para anggota parlemen Mesir mengatakan "Bush melakukan kejahatan di Irak di tengah ‘keheningan’ AS, yang memproklamirkan diri sebagai pembawa bendera demokrasi dan hak asasi manusia.
Mereka juga mencatat bahwa laporan Chicot menunjukan plot Barat yang tak henti-hentinya melawan negara-negara Arab, Teluk Persia dan Timur Tengah. "Konspirasi ini bertujuan menjarah kekayaan daerah ini, memperbudak bangsa dan menjatuhkan (meereka) ke dalam masalah yang konstan," kata pernyataan itu.
Anggota parlemen Mesir selanjutnya menyarankan agar Liga Arab dan KTT Arab ke 27 mendatang mengeluarkan pernyataan keras terhadap intervensi militer Barat di Dunia Arab dan menekan PBB untuk mengadopsi prinsip ini.
Pemenang Nobel: Pengadilan HAM Harus Adil
Invasi militer Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, terutama Inggris terhadap Irak adalah pelanggaran hak asasi manusia. Peraih Nobel Perdamaian 1984, Uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu, mengatakan demikian. Dia mendesak pengadilan tindak pidana hak asasi internasional (ICC) untuk mengungkap kejahatan HAM tersebut.
''George Bush dan Tony Blair telah melakukan kejahatan perang terhadap Irak,'' tulis Desmond di surat kabar Inggris The Observer, seperti dikutip The Associated Press, Ahad (2/9). Aktivis Apertheid ini menuliskan, kedua pemimpin negara adidaya itu telah melakukan kebohongan publik, dengan menyiarkan senjata pemusnah massal dan pembunuhan massal sebagai alasan invansi militer pada 2003 itu.
Pasukan Amerika Serikat saat menginvasi Irak. (Foto: Istimewa) |
''Bush dan Blair telah mendorong manusia ke tepi jurang peperangan,'' ujarnya. Desmond mengaku kecewa terhadap penegakan hukum di internasional, yang dianggap tidak adil dalam memperlakukan penjahat kemanusian lainnya.
Dia mempertanyakan pengadilan di Den Haag hanya terkonsentrasi terhadap pelanggar HAM di Asia dan Afrika, namun tidak 'membuka mata' terhadap kejahatan kemanusian yang dimotori oleh AS bersama sekutu di tempat lain.
Dia menjelaskan, hingga sekarang 16 kasus kejahatan HAM yang diseret ke ICC. Di antaranya, yang menyeret pemimpin pemberontak dari Republik Demokratik Kongo (DRC), Thomas Lubanga (divonis 14 tahun penjara), dan penjahat perang Serbia Ratko Mladic.
Invasi Irak Tewaskan Jutaan Orang
Amerika Serikat, didukung kuat oleh Inggris, menginvasi Irak dengan dalih bahwa rezim Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Invasi dengan kode "Operasi Pembebasan Irak" secara resmi mulai pada tanggal 19 Maret 2003.
Para penduduk Irak di ibu kota Baghdad, berusaha mencari korban yang selamat, setelah pesawat tempur Amerika Serikat membombardir kota tersebut. (Foto: Istimewa) |
George W Bush dan Tony Blair, menyatakan bahwa mereka berperang di Irak untuk membebaskan dunia dari seorang diktator brutal yang merupakan ancaman bagi perdamaian, stabilitas, dan demokrasi regional. Keduanya telah secara teratur menyebutkan penggunaan gas kimia terhadap penduduk Kurdi, dan Perang Iran-Irak pada tahun 80-an, sebagai contoh kebrutalan Saddam. Namun saat invasi dilakukan, tidak ada dan tidak pernah ditemukan senjata pemusnah massal tersebut di Irak.
Sebagai persiapan, pada 18 Februari 100.000 tentara Amerika Serikat dimobilisasikan di Kuwait. Amerika Serikat menyediakan mayoritas pasukan untuk invasi ini, dengan dukungan dari pasukan koalisi yang terdiri dari lebih dari 20 negara dan suku Kurdi di utara Irak. Invasi inilah yang menjadi pembuka Perang Irak.
Sebelum invansi dilaksanakan, pemerintah Amerika Serikat dan Britania Raya menuduh Irak sedang berusaha membuat senjata pemusnah masal yang mengancam kemanan nasional mereka, koalisi, dan sekutu regional.
Pada tahun 2002, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1441 yang mewajibkan Irak untuk bekerjasama sepenuhnya dengan inspektur senjata PBB guna membuktikan bahwa Irak tidak berada dalam suatu usaha membuat senjata pemusnah massal.
Hans Blix, pemimpin dari tim inspeksi senjata yang dikirim, mengatakan bahwa tidak ditemukan senjata pemusnah masal dan Irak telah bekerja sama dengan aktif, akan tetapi, dibawah ketentuan-ketentuan tertentu dan penundaan-penundaan.
Lebih dari satu juta warga Irak tewas akibat invasi, dan telah terjadi pendudukan berlajut di negara itu, menurut organisasi investigasi berbasis di California Project Censored. Okupasi yang kemudian dilakukan oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat dan Britania Raya mengakibatkan berlanjutnya peperangan antara para pemberontak dengan pasukan koalisi.
Tentara baru Irak lalu dibentuk untuk menggantikan tentara lama Irak setelah dibubarkan oleh koalisi, dan diharapkan tentara baru ini akan mengambil alih tugas-tugas koalisi setelah mereka pergi dari Irak.
Di antara peperangan yang terjadi antara para pemberontak, koalisi, dan tentara baru Irak, perang saudara antar kelompok mayoritas Syi'ah dan minoritas Sunni masih berlanjut sampai sekarang.
Pada tanggal 15 Desember 2011, Perang Irak dinyatakan berakhir, ditandai dengan pernyataan penutupan misi militer pasukan Amerika Serikat di Irak oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta. (*)
Sumber: Islamtimes/Republika.co.id