Kelompok Militan Abu Sayyaf Kembali Menyandera WNI - Jalur Militer

Kelompok Militan Abu Sayyaf Kembali Menyandera WNI

Kelompok Abu Sayyaf di Filipina selatan. Sejumlah WNI kembali disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Kejadian penculikan WNI secara berulang-ulang tersebut menjadi pertanyaan sejumlah pihak akan kemampuan Presiden Joko Widodo dalam melindungi warga negaranya. (Foto: Istimewa)
"ABK dan pelaut kita benar-benar jadi bulan-bulanan perompak dan teroris dari kelompok Abu Sayyaf,"
JAKARTA -- Terus terjadinya penculikan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri selama pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi pertanyaan banyak pihak dan masyarakat. Kemampuan Jokowi dalam melindungi warga negaranya di luar negeri sangat lemah. Bahkan DPR RI menganggap terulangnya penculikan WNI di luar negeri sebagai bukti bahwa di era pemerintahan Jokowi, Indonesia sama sekali tak dipandang apalagi ditakuti oleh dunia.

Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari menilai penculikan anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) menunjukkan Indonesia dilecehkan oleh orang atau kelompok. Atas persoalan penculikan ABK WNI yang selalu berulang, ia mengatakan langkah pertama yang harusnya dilakukan pemerintah memperbaiki diplomasi Indonesia agar semakin bagus.

"Itu artinya kewibawaan kita tidak dihitung," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu saat dihubungi, Senin 11 Juli 2016.

Abdul menyatakan sudah mewanti-wanti agar solusi penculikan jangan menggunakan tebusan. Tapi menurutnya semua orang tahu kasus-kasus terdahulu diselesaikan dengan membayarkan tebusan.

"Bukan sekadar jadi pembelajaran tapi harus belajar lebih cepat lagi, jangan belajarnya terlalu lama apalagi ini sudah ke empat. Kalau di Filipina dilakukan Abu Sayyaf maka mereka menghitung banget, kenyataannya ditebus juga," kata Abdul.
Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari. (Foto: Istimewa)
Ia menegaskan kalau Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi disegani, maka tidak akan ada pihak yang berani menculik WNI. Persoalannya diplomasi yang pemerintah Indonesia lakukan ke negara-negara yang bersangkutan belum berhasil.

Penculikan WNI Terjadi Lagi

Peristiwa penculikan WNI yang berprofesi sebagai anak buah kapal (ABK) kerap berulang. Tercatat, hingga pertengahan tahun ini, sudah empat kali terjadi penculikan oleh "lanun" atau kelompok pembajak/perompak dari Filipina selatan.

Yang terbaru, pada Sabtu, 9 Juli 2016, tiga orang diculik oleh lima orang bersenjata di Perairan Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi sampai berucap kalau berulang-ulangnya penculikan sudah mencapai titik nadir. Tidak bisa lagi ditolerir.

Bagi politisi Partai Golkar Tantowi Yahya, serangkaian aksi penculikan ini menunjukan Indonesia telah menjadi sasaran empuk kelompok itu.


"ABK dan pelaut kita benar-benar jadi bulan-bulanan perompak dan teroris dari kelompok Abu Sayyaf," kata Tantowi melalui pesan singkat, Selasa, 12 Juli 2016.
Kapal Brahma 12, sebuah kapal yang sempat dibajak oleh kelompok Abu Sayyaf. (Foto: Istimewa)
Menurutnya, persoalan yang membuat kelompok Abu Sayyaf berani menyandera pelaut Indonesia, jika berkaca pada penanganan saat pembebasan sebelumnya, "Kita terlalu lembek, terlalu persuasif istilahnya Panglima TNI."

Anggota Komisi I DPR yang membidangi hubungan luar negeri dan pertahanan keamanan ini mengingatkan, mengenai perjanjian tiga negara, yaitu Indonesia, Filipina dan Malaysia. Pada perjanjian ini, semua menteri luar negeri dan panglima militer tiga negara itu sepakat melakukan patroli bersama di perairan yang rawan tersebut.

Sedangkan, Pengamat hubungan internasional Emil Radiansyah menuturkan satu faktor kemungkinan mengapa WNI menjadi sasaran penculikan kelompok yang diduga termasuk ke dalam jaringan Abu Sayyaf itu.

Pada kasus penculikan April lalu, menurut Emil, WNI dibebaskan diduga dengan cara ditebus. Itu indikasi sangat kuat, meskipun pemerintah tidak pernah mengakuinya.

“Menurut saya, indikasi kuat mengapa WNI jadi sasaran penculikan karena (dugaan) faktor tebusan itu," kata dia, Senin, 11 Juli 2016.
Kelompok Abu Sayyaf di Filipina selatan. (Foto: Istimewa)
Kendati demikian, Emil menyebut bahwa kasus lanun di perairan Filipina selatan sudah dianggap lumrah oleh Filipina. Karena, memang kawasan itu termasuk ke dalam wilayah rawan.

"Bagi mereka (Filipina) itu (penculikan dan penyanderaan) sudah biasa. Tapi, tidak bagi kita (Indonesia) karena masuk kategori kejadian luar biasa (KLB)," ujar Emil.

"Political will adalah masalah yang dihadapi pemerintah Filipina. Walaupun, Presiden Duterte mengatakan Abu Sayyaf bukanlah kelompok kriminal, bukan berarti tidak diberantas," katanya. (*)

Sumber: VIVA.co.id
ads 720x90

#Tags

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Comment
Disqus