"Iran telah membuat kita membayar harga yang sangat mahal. Kita perlu membuat Iran membayar harga di Suriah. Kita perlu membuat Rusia membayar harga,"WASHINGTON DC -- Sejak Rusia mengambil kebijakan ikut campur dalam medan perang Timur Tengah, wajah sesungguhnya dari pendekatan Amerika Serikat di wilayah ikut terkuak. Bahkan dalam beberapa kejadian, Amerika Serikat merasa terus dipecundangi dengan hadirnya militer Rusia di wilayah bergejolak itu.
Untuk melawan tindakan Rusia itu, mantan Direktur Badan Intelijen Amerika Serikat atau CIA, Michael Morell menyatakan AS harus meneruskan bantuan kepada pemberontak Suriah. Ini dilakukan untuk membantu kelompok itu membantai tentara Rusia dan Iran yang bertugas di Suriah.
Morell menuturkan langkah ini perlu dilakukan sebagai bentuk balas dendam atas apa yang dilakukan Rusia dan Iran di Irak pada 2003 lalu. Menurut Morell, saat itu Iran dan Rusia memberikan bantuan pada milisi Syiah, yang telah banyak membantai pasukan AS.
"Ketika kami berada di Irak, Iran telah memberikan senjata kepada milisi Syiah, yang membunuh tentara Amerika," ucap Morell dalam wawancara itu, seperti dilansir Alaraby, Selasa (9/8/2016).
"Iran telah membuat kita membayar harga yang sangat mahal. Kita perlu membuat Iran membayar harga di Suriah. Kita perlu membuat Rusia membayar harga," tambahnya.
Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin saat memeriksa kesiapan pasukan yang akan terjun dalam medan perang Suriah. (Foto: vox.com) |
Morell adalah seorang veteran yang telah mengabdi selama 33 tahun di CIA dan dua kali menjabat sebagai kepala agen mata-mata itu. Morell telah menyatakan dukungan kepada calon Presiden AS dari partai Demokrat Hillary Clinton, yang sama-sama mendukung aksi militer di Suriah untuk menggulingkan Assad.
Hadapi Rusia, Amerika Serikat Terbelah
Pemerintah Amerika Serikat terpecah menjadi dua kubu akibat langkah militer Rusia, terkait perang saudara di Suriah. Kubu pertama yakin Presiden Rusia, Vladimir Putin, sungguh-sungguh mendukung prakarsa PBB mengakhiri perang di Suriah, yang sudah berlangsung lima tahun.
Sementara itu, kubu berseberangan menyatakan Moskow hanya memanfaatkan perundingan PBB untuk memperkuat dukungan militer kepada Presiden Suriah, Bashar al Assad. Kebijakan militer terkini Rusia itu adalah penempatan meriam di dekat medan tempur Aleppo.
Meski sudah menarik sejumlah pesawat tempur pada Maret, Rusia memperkuat pasukannya di Suriah dengan beberapa helikopter perang canggih untuk menyerang kelompok oposisi moderat, kata sejumlah sumber pemerintahan Amerika Serikat.
Pesawat tempur Sukhoi SU-34 Rusia membombardir posisi kelompok ISIS dan kelompok pemberontak lainnya yang didukung Amerika Serikat. (Foto: time.com) |
Menurut mereka, Amerika Serikat harus meningkatkan dukungan kepada unsur gerilyawan moderat dengan bantuan berupa rudal anti-tank dan pelempar granat. Namun, kubu lain dalam pemerintahan Amerika Serikat tidak sependapat. Penasihat Keamanan Nasional, Susan Rice, menolak eskalasi keterlibatan Washington di Suriah.
"Rice adalah yang kukuh menolak," kata sumber yang mengetahui perpecahan dalam pemerintahan Amerika Serikat.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama sendiri selama ini keberatan untuk meningkatkan keterlibatan negaranya dalam perang di Suriah. Pada Oktober lalu, dia menyatakan bahwa Washington tidak akan terseret dalam perang proksi dengan Moskow.
Selama ini, negara Barat kebingungan dalam membaca niat Putin sebenarnya sejak tokoh itu mengirim pesawat tempur mendukung Bashar pada September. Kebingungan Barat semakin bertambah setelah Putin tiba-tiba menarik sebagian pesawat tempurnya dari Suriah pada Maret.
Rusia Bombardir Posisi Pasukan AS
Bukan hanya mempermalukan AS di Suriah, Rusia juga berani menyerang pemberontak Suriah yang disokong AS. Rusia membombardir gerilayawan Suriah yang didukung AS. Agresifitas Moskow menimbulkan "kekhawatiran serius" ihwal situasi di dataran Syam tersebut.
Sejumlah pesawat tempur Rusia di pangkalan militer Latakia, Suriah. Untuk menggempur ISIS, Rusia mengerahkan sistem persenjataan canggihnya ke medan perang Suriah. (Foto: Istimewa) |
"Pesawat Rusia sudah lama tidak aktif di wilayah selatan Suriah dan tidak ada pasukan rejim Suriah atau Rusia yang aktif di sekitar," imbuhnya. Tidak jelas berapa jumlah gerilayawan yang tewas dalam serangan tersebut.
Awal 2015 silam militer AS mengucurkan dana sebesar 500 juta Dollar AS untuk melatih gerilayawan "moederat" Suriah untuk bertempur melawan kelompok teror Islamic State. Namun program tersebut tidak berlangsung sesuai rencana lantaran jumlah gerilayawan yang bisa dilatih tidak mencapai angka yang direncanakan, yakni 5000 orang.
Salah satu kelompok yang dibekingi AS bahkan membelot dengan memberikan amunisi dan persenjataan kepada Front al Nusra, kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaida. Sejak kegagalan itu Pentagon mengubah strategi dan beralih menyokong satuan-satuan yang lebih kecil.
AS kini menaruh harapan pada Syrian Democratic Forces, koalisi yang didominasi kelompok etnis Kurdi. SDF belakangan banyak mencatat kemajuan dalam perang melawan ISIS. Dinas Intelijen AS, CIA, juga dikabarkan banyak membantu melatih pemberontak Suriah. (*)
Sumber: Alaraby/Antaranews/dw.com