“Lalu, apakah yakin Google tidak mengolah atau menyadap informasi yang ada di republik ini nantinya? Harusnya ini didiskusikan dahulu, jangan tiba-tiba MOU saja,"JAKARTA -- Project Loon dari Google yang akan diuji coba di Indonesia ternyata selain membantu memperluas jaringan internet ke daerah-daerah terpencil, juga memiliki potensi berbahaya terkait keamanan siber yang menyasar pengguna internet.
"Saya secara pribadi memang tidak terlalu mengerti tentang Project Loon. Namun, pada dasarnya selama pengguna terkoneksi internet, ancaman terhadap pengguna akan tetap ada," ujar Halim Santoso, Regional SE Director, Symantec ASEAN, saat ditemui di sela-sela acara Media Briefing Symantec, Senin (9/11).
"Hal itu pasti akan ada, hanya tinggal menunggu waktu saja. Namun, saya sendiri tidak dapat berbicara banyak mengenai Project Loon tersebut," tambah Halim.
Ia juga menambahkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk dalam potensi target ancaman internet, dan kebanyakan ancaman tersebut berasal media sosial.
"Indonesia masuk ke dalam urutan ke 13 sebagai negara yang berpotensi menjadi sasaran serangan siber. Dan kebanyakan ancaman itu merupakan scam yang berasal dari media sosial," ungkap Halim.
Peresmian Google project Loon antara Menkominfo dan pihak Google. (Foto: Istimewa) |
Potensi Ancaman Untuk Indonesia
Menurut Heru Sutadi, pakar telekomunikasi sekaligus mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), adopsi Project Loon Google di Indonesia adalah sesuatu hal yang salah. Karena kerja sama tersebut bisa membahayakan kebocoran data, dan rentan ancaman terhadap keamanan negara.
“Hal ini sangat disayangkan, mengapa? Karena keputusan ini terlalu prematur. Tidak didahului dengan kajian teknis, bisnis, dan legal, serta pertimbangkan untung ruginya. Yang sudah-sudah, uji teknis sementara kemudian menjadi setahun atau permanen,” jelas Heru Sutadi, saat dihubungi ArenaLTE.com via WhatsApp, Kamis (29/20/2015).
Ia menuturkan, Google adalah pihak asing alias perusahaan luar yang tidak memiliki ijin sebagai penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. Selain itu, kerja sama Project Loon Google ini juga sudah menyimpang jauh dari rencana pembangunan pita lebar Indonesia, yang digadangkan Pemerintah.
“Kerjasama ini telah menyimpang dari rencana semula, yang mana nantinya dengan balon Google dianggapnya akses internet wilayah terpencil selesai. Padahal, harusnya tetap disambungkan dengan serat optik atau broadband dengan kapasitas yang lebih dan stabil,” tambah Heru.
Heru menjelaskan, meski teknologi Project Loon Google yang digunakan lebih efektif dan efisien dalam menjangkau wilayah terpencil, namun adopsi teknologi lain sebenarnya masih bisa dijalankan. Sehingga tidak harus dipatok dengan teknologi dari perusahaan asing yang justru bisa menjadi ancaman.
“Meski teknologi yang digunakan Google terdepan, namun teknologi High Altitude Platform System (HAPS) lain masih banyak dan bisa digunakan. Apakah Google tidak punya kepentingan, sehingga mereka mau menyediakan balon itu? Ujung-ujung agar orang akan makin banyak pakai layanan Google Alphabet sehingga keuntungan diraih perusahaan tersebut lebih besar,” jelasnya.
Dirinya juga menjelaskan bahwa jika kerja sama tersebut hanya akan menguntungkan pihak Google Alphabet saja, sehingga layanannya makin banyak dipakai. Nantinya, hal itu bisa menjadi target iklan tanpa bayar pajak ke negeri ini dan merugikan.
“Lalu, apakah yakin Google tidak mengolah atau menyadap informasi yang ada di republik ini nantinya? Harusnya ini didiskusikan dahulu, jangan tiba-tiba MOU saja. Padahal kita (Indonesia) tidak terburu-buru juga kok dengan hal ini,” jelasnya.
Petinggi Google Indonesia menjelaskan mengenai balon Google. (Foto: istimewa) |
Setujui Project Loon, Joko Widodo Khianati Nawacita
Uji teknis Project Loon dari Google Inc dinilai tidak sesuai dengan visi Nawacita yang diusung pemerintahan Jokowi-JK.
Pasalnya, uji coba itu dapat membuat keamanan informasi Indonesia lebih rentan, sehingga negara tidak lagi berdaulat.
“Saat ini negara-negara maju berlomba mengorek informasi dari negara lain. Dahulu, informasi didapat dari berbagai penelitian, biro sensus, dan kampus yang biasanya membutuhkan proses cukup lama. Sekarang sadapnya kalau bisa in time, saat butuh kapan pun bisa diambil saat itu juga,” jelas Pengamat telekomunikasi Riant Nugroho, Selasa (12/1/2016).
Ia menilai, kehadiran Project Loon semakin membuat dunia informasi Indonesia, terutama di dunia maya, telanjang.
Pasalnya, informasi dari pelanggan data tidak hanya diketahui oleh operator, melainkan juga dapat diakses Google via balon-balon yang berfungsi sebagai stasiun pemancar dan penerima (BTS) terbang tersebut.
Pasukan Cyber Republik Rakyat China. (Foto: Istimewa) |
Riant meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana uji teknis Project Loon yang dijadwalkan dimulai pada awal tahun ini.
Seharusnya, kata dia, Kementerian Komunikasi dan Informatika berkonsultasi lebih dulu dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sebelum memberi izin Project Loon.
Pasalnya, proyek itu bukan semata-mata terkait dengan bisnis telekomunikasi atau Internet, melainkan juga berimplikasi pada keamanan dan kedaulatan nasional.
Secara khusus dia meminta Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan “turun tangan” karena Kemkominfo berada di bawah koordinasinya.
Pasukan Cyber Israel. (Foto: Istimewa) |
Uji teknis Project Loon di Indonesia melibatkan tiga operator seluler yakni PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo), dan PT XL Axiata Tbk (XL).
Proyek Loon Google yang merancang akan memancarkan koneksi Internet melalui jalur WiFi dengan balon udara, mampu menjangkau jarak hingga radius 40 KM. Teknologi serupa kabarnya juga akan dituangkan dalam pelaksanaan ujicoba proyek ini di Indonesia. Dalam penerapan teknologi balon internet ini, rencananya akan menggunakan frekuensi standar ISM 2.4GHz dan 5.8GHz.
Ketiga operator terbesar di Tanah Air itu, dalam pertemuan di Silicon Valley, pada Oktober 2015, sepakat mengalokasikan frekuensi berlisensi mereka di pita 900 MHz kepada Google Inc.
Pemerintah telah menetapkan pita frekuensi 900 MHz berstatus teknologi netral, sehingga pemegang lisensi bisa menggunakannya untuk menggelar layanan 2G, 3G, hingga 4G. Project Loon telah berjalan pada awal 2016. (*Dari berbagai sumber)