“Beli senjata ke Amerika, ya akan tergantung kepada Amerika. Kalau hubungan Indonesia dengan Amerika sedang baik, tak apa-apa. Tapi kalau tiba-tiba bermasalah lalu diembargo, jadi tidak ada dukungan persenjataan,”JAKARTA -- Ambisi Indonesia untuk bisa mewujudkan dan menciptakan pesawat tempur buatan sendiri didorong oleh pengalaman masa lalu yang tidak begitu mengenakkan. Yaitu pada saat Amerika Serikat menjatuhkan embargo militer terhadap Indonesia.
Amerika Serikat menuduh Indonesia pada tahun 1991 di Dili Timor Timur telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia, dengan menembaki demonstran di Dili, (kini Timor Leste)
AS menyetop penjualan senjata, termasuk tak mau memberikan suku cadang yang diperlukan Indonesia untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI yang dibeli dari mereka.
Akibat embargo tersebut, peralatan tempur atau alutsista Indonesia seperti pesawat tempur F16 dan lain-lain, mangkrak dan hanya menjadi tumpukan besi rongsokan di gudang senjata TNI.
Pasukan TNI di Timor Timur saat melakukan operasi penumpasan separatis Fretilin (Foto: istimewa) |
Saat hubungan Presiden Soeharto dengan Amerika Serikat renggang, pada tahun 1996 Presiden Soeharto sebernanya sempat berencana untuk membeli Sukhoi dari Rusia sebanyak 12 unit pesawat unit tempur Sukhoi.
Namun dalam proses pembelian terdapat banyak hambatan yang didapatkan oleh Indonesia. Dan baru direalisasikan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Indonesia membeli pesawat Sukhoi buatan Rusia pada tahun kedelapan masa embargo Amerika Serikat, yakni 2013.
Pengalaman Guru Terbaik
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia, Andi Alisjahbana mengatakan, belajar dari kasus embargo tersebut, Indonesia wajib menguasai teknologi pesawat tempur dan membuatnya sendiri.
Apalagi Indonesia bangsa yang besar. Kalau mau bertahan, jelas mesti kuat pertahanan udaranya," kata Andi Alisjahbana, seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
“Lalu kenapa harus mengembangkan jet tempur? Tentu karena itu salah satu alat tempur utama di udara. Yang menentukan menang-tidaknya Sekutu atau Jepang dalam Perang Dunia II adalah pertempuran maritim dan udara,” ujar Andi.
Pesawat tempur Sukhoi SU-30SM yang dibeli Indonesia dari Rusia (Foto: istimewa) |
“Beli senjata ke Amerika, ya akan tergantung kepada Amerika. Kalau hubungan Indonesia dengan Amerika sedang baik, tak apa-apa. Tapi kalau tiba-tiba bermasalah lalu diembargo, jadi tidak ada dukungan persenjataan,” kata Andi.
Sepuluh tahun embargo AS, ujar Andi, membuat kekuatan tempur udara Republik Indonesia mengalami kemerosotan tajam. Banyak pesawat tempur TNI Angkatan Udara harus di-grounded lantaran tak punya suku cadang.
Hal itu misalnya menimpa setengah lusin F-16 Fighting Falcon, sejumlah armada F-5 Tiger, sampai pesawat angkut militer C-130 Hercules yang seluruhnya buatan AS.
Lebih parah lagi, beberapa pesawat Hawk 109/209 buatan Inggris, sekutu AS yang dimiliki TNI juga ikut terkena embargo. Embargo membuat banyak pesawat militer RI tak bisa diterbangkan sekalipun kondisinya baik, bahkan tergolong baru.
Alhasil sia-sia saja memiliki armada tempur jika banyak yang tak bisa digunakan untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.
Diembargo, Indonesia Mencari Akal
Andi mengatakan keputusan Indonesia membeli pesawat tempur Sukhoi SU-30SM buatan Rusia, untuk mengimbangi Amerika Serikat adalah sebuah langkah tepat.
“Apa yang dilakukan Indonesia ketika itu seperti membuat dua sistem: satu tergantung kepada Amerika, satu kepada Rusia. Ada Sukhoi, ada F-16 (buatan AS). Kalau Amerika mengembargo sehingga F-16 tidak bisa terbang, masih ada Sukhoi,” kata Andi.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia, Andi Alisjahbana (kiri). (Foto: istimewa) |
Embargo akhirnya dicabut tahun 2005. Namun Indonesia tetap mempertahankan dua sistem tersebut sebagai “tali pengaman.
”Target Indonesia selanjutnya adalah menjaga kesinambungan alat-alat tempur yang dimiliki dalam keadaan krisis. Ini yang paling utama. Indonesia berhak untuk mempertahankan diri dari ancaman luar,” ujar Andi.
Tahap Mencapai Kemandirian
“Masih panjang perjalanan Indonesia untuk mandiri. Tapi setidaknya negara ini bisa bertahan dalam keadaan krisis. Semisal ada pertempuran sampai 10 tahun, minimal pesawat Indonesia tidak kehabisan peluru dan suku cadang.
Di situ letak kesinambungannya,” kata Andi. Kesinambungan dan kemandirian tersebut terkait erat satu sama lain.
Untuk mencapai kedua hal itu, Indonesia –setelah serangkaian proses– menerima tawaran Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan teknologi pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X).
Skema pembuatan pesawat tempur IFX oleh PT. Dirgantara Indonesia (Gambar: istimewa) |
Rintangan Menghadang
Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Eris Herryanto mengatakan, tak mudah bagi Indonesia dan Korea Selatan untuk sampai pada tahap kerja sama seperti sekarang ini.
Perbedaan sistem, perbedaan tujuan, dan perbedaan posisi dalam mendapat teknologi, membuat Jakarta dan Seoul mesti saling berkompromi dan menyamakan persepsi.
Kesulitan juga terletak pada teknologi Amerika Serikat, yakni perusahaan dirgantara AS Lockheed Martin, yang direncanakan digunakan untuk mengembangkan jet KF-X/IF-X.
Heri Yansyah, menyatakan yang terpenting dari seluruh proses dan upaya yang berlangsung saat ini ialah penguasaan atas teknologi upgrading atau pemutakhiran, sehingga semua pesawat tempur yang dimiliki Indonesia nantinya selalu dilengkapi teknologi terbarukan.
“Tingkat pertemanan Amerika dengan Indonesia mungkin berbeda dibanding Amerika dengan Korea. Perbedaan posisi itu bisa berpengaruh saat membuat perjanjian. Tapi Korea mau menyatukan sikap dengan Indonesia. Ini indikasi kerja sama berjalan baik,”
Teknologi adalah kunci menuju kesinambungan dan kemandirian, serta “tali pengaman” yang lebih sempurna," kata Andi, menambahkan. (*)
Sumber: cnnindonesia.com/gerhananews.com