Presiden Joko Widodo saat melantik Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI yang baru, menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo (Foto: Antara/Puspa Perwitasari) |
"Juga dia ikut paraf. Artinya dia melanggar persetujuan dia sendiri. Dia juga melecehkan persetujuan kepala staf angkatan lain. Ini adalah 'kekurangajaran' yang tidak bisa dimaafkan. Hanya ada satu kata: lawan,"JAKARTA -- Pembatalan surat keputusan Jenderal Gatot Nurmantyo oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tentang mutasi sejumlah perwira tinggi TNI merupakan bentuk politisasi. Hal itu juga merupakan tindak penzaliman terhadap institusi TNI. Begitu dikatakan Komandan Korps Marinir TNI Angkatan Laut tahun 1996-1999, Letnan Jenderal (Purn) Suharto, Rabu (20/12).
"Negara ini seperti sudah tidak ada hukum. Kudeta dibiarkan. DPD di kudeta, DHN 45 dikudeta, PKPI dikudeta, KADIN dikudeta, UUD 45 dikudeta. Sekarang TNI dikudeta," tegasnya.
Pembatalan mutasi sejumlah perwira tinggi dan perwira menengah TNI itu, lanjut Suharto, maka semakin membuktikan bahwa ada grand design untuk melemahkan NKRI dimana TNI yang merupakan tembok terakhir kedaulatan Indonesia sudah mulai digerogoti.
Di sisi lain, Suharto menilai pembatalan Skep oleh Marsekal Hadi tersebut memiliki banyak kejanggalan. "Pertama, menganulir sebagian Skep TNI (hanya 32 dari 85 perwira). Apa itu betul?" kata dia.
Kejanggalan lainnya, Skep itu dianulir oleh Jenderal Hadi yang saat Skep diterbitkan merupakan bawahan Jenderal Gatot.
"Juga dia ikut paraf. Artinya dia melanggar persetujuan dia sendiri. Dia juga melecehkan persetujuan kepala staf angkatan lain. Ini adalah 'kekurangajaran' yang tidak bisa dimaafkan. Hanya ada satu kata: lawan," tegas Suharto.
Yang lebih mengherankan lagi, Marsekal Hadi saat serah terima jabatan Panglima TNI sudah berjanji akan melanjutkan kebijakan yang telah dibuat sebelumnya oleh Jenderal Gatot. Oleh karena itu, Suharto berpesan bagi para anggota TNI untuk waspada terhadap bentuk pelemahan institusi.
"Dia menyebut akan melanjutkan kebijakan Panglima lama (Gatot Nurmantyo, red), kok malah dilanggar. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi TNI. Kenapa tidak menganulir yang dulu dulu sekalian," tegasnya.
Mantan menteri dalam negeri, Syarwan Hamid, juga mempertanyakan keputusan Panglima TNI Marsekal Hadi, membatalkan keputusan Jenderal Gatot Nurmantyo tersebut. Dia menilai mutasi pati tersebut sudah melalui proses di Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi TNI (Wanjakti TNI) yang dihadiri oleh sejumlah pihak, di antaranya Kepala Staf Umum TNI, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, serta Angkatan Udara, Irjen TNI, Kabais TNI, Lemhannas, Kemenkopolhukam, dan Kemenhan.
"Pembatalan mutasi pati (perwira tinggi) ini sangat tidak lazim di tubuh TNI. Tidak ada alasan moral dan tradisi dalam pembatalan mutasi di tubuh TNI setelah pergantian panglima baru,” kata Syarwan Hamid di Jakarta, Rabu (20/12).
Pada Rabu (20/12), beredar Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/982.a/XII/2017. Dalam surat tersebut, ada beberapa perubahan keputusan dalam hal pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI yang lalu.
Surat tersebut bertuliskan perubahan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/982/XII/2017 tanggal 4 Desember 2017 lalu, tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI. Ada 16 panglima tinggi TNI yang tidak jadi diberhentikan atau diangkat jabatannya.(*)
Sumber: Rmol.co