Menampilkan postingan dari Agustus, 2018

Rusia Akan Kerahkan Senjata Nuklir di Suriah Jika AS Jatuhkan Sanksi

Rusia menanggapi dengan keras ancaman sanksi yang akan dijatuhkan oleh pemerintahan Donald Trump. Salah satunya dengan menempatkan senjata nuklir di wilayah Suriah untuk membendung hegemoni AS. (Foto: Daily Star/Getty)
"Kita harus mengikuti saran dari para ahli, yang mengatakan bahwa Rusia mungkin harus menangguhkan pelaksanaan perjanjian pada non-proliferasi teknologi rudal, dan juga mengikuti contoh AS dan mulai menyebarkan senjata nuklir taktis kami di negara-negara asing. Ada kemungkinan bahwa Suriah, di mana kita memiliki pangkalan udara yang dilindungi dengan baik, dapat menjadi salah satu dari negara-negara tersebut,"
MOSKOW -- Berbagai macam sanksi yang diterapkan Amerika Serikat (AS) kepada musuh abadinya, Rusia, membuat negeri Beruang Merah itu semakin tersudut. Rusia pun mengancam akan membalas perlakuan AS itu dengan tindakan yang setimpal.

Salah satunya Moskow berencana akan menempatkan senjata nuklir taktis Rusia di negara-negara sekutu seperti Suriah. Langkah itu diambil Moskow sebagai respons atas sanksi dari Washington yang dianggap tak masuk akal.

Gagasan dari para ahli Rusia itu dibocorkan Vladimir Gutenev, Wakil Kepala Komite Kebijakan Ekonomi Duma Negara (Parlemen Rusia). Dia mengatakan, sudah waktunya bagi Rusia untuk menarik garis merahnya sendiri. Menurutnya, pemerintah Rusia harus mengikuti saran dari para ahli tersebut.

"Saya percaya bahwa sekarang Rusia harus menggambar 'garis merah' sendiri. Saatnya telah tiba untuk merenungkan varian tanggapan asimetris terhadap AS, yang sekarang sedang disarankan oleh para ahli dan dimaksudkan tidak hanya untuk mengimbangi sanksi mereka tetapi juga untuk melakukan beberapa kerusakan balas dendam," lanjut dia, dilansir Express.co.uk, Minggu (26/8/2018).

Presiden Rusia Vladimir Putin, (kanan), mememeriksa kesiapan pasukan Rusia, saat mengunjungi pangkalan udara Hmeimim di Suriah, 11 Desember 2017. (Foto: Mikhail Klimentyev/Sputnik/Kremlin Pool Photo via AP)
Langkah pembalasan lainnya adalah penggunaan cryptocurrency untuk ekspor senjata Rusia dan penangguhan sejumlah perjanjian dengan AS seperti perjanjian non-proliferasi teknologi nuklir.

"Kita harus mengikuti saran dari para ahli, yang mengatakan bahwa Rusia mungkin harus menangguhkan pelaksanaan perjanjian pada non-proliferasi teknologi rudal, dan juga mengikuti contoh AS dan mulai menyebarkan senjata nuklir taktis kami di negara-negara asing. Ada kemungkinan bahwa Suriah, di mana kita memiliki pangkalan udara yang dilindungi dengan baik, dapat menjadi salah satu dari negara-negara tersebut," ujar Gutenev.

AS dan sejumlah negara Uni Eropa, terutama negara-negara Anggota NATO, sudah berkali-kali memberikan sanksi bagi ekonomi, militer maupun sanksi diplomatik kepada Rusia untuk melemahkan Moskow. Namun, sanksi tersebut justru malah meningkatkan perlawanan Rusia dalam melawan hegemoni Barat.

Sanksi terbaru Washington terhadap Moskow dijatuhkan pada 22 Agustus lalu sebagai tanggapan atas dugaan keterlibatan Moskow dalam meracuni bekas mata-mata Kremlin, Sergei Skripal dan putrinya di Salisbury, Inggris. Sergei dan putrinya, Yulia, ditemukan tidak sadarkan diri di bangku dekat pusat perbelanjaan Maltings di Salisbury, beberapa bulan lalu.

Sebuah ledakan terjadi di sebuah gudang senjata milik pemberontak Suriah di wilayah Ghouta Timur, akibat dibombardir pesawat tempur Rusia. (Foto: Daily Star/Getty)

Bom MK-82 Arab Saudi Hujani Yaman, Tewaskan Puluhan Wanita dan Anak-anak

Pasukan militer Arab Saudi dan kelompok sekutunya terus membombardir wilayah Yaman. Bahkan Saudi tak segan-segan menggunakan bom canggih Mark-82 atau MK-82 buatan Amerika Serikat untuk menyerang negara miskin tersebut. (Foto: PressTV)
"Serangan Saudi pada awalnya menargetkan sebuah desa di daerah ad-Durayhimi di selatan Hodeidah, menewaskan lima orang dan melukai dua (orang) lainnya. Tetapi serangan kedua Saudi-UEA menargetkan bus itu, membunuh semua orang,"
SANAA -- Militer Kerajaan Arab Saudi kembali membombardir wilayah Yaman dalam agresi mereka untuk mengalahkan negara miskin tersebut. Stasiun Al Massira TV yang dikelola Houthi melaporkan, 22 anak dan empat wanita tewas pada hari Kamis setelah serangan jet tempur Koalisi Arab yang menargetkan sebuah kamp bagi orang-orang telantar di ad-Durayhimi.

Kelompok pejuang Houthi Yaman mengatakan, serangan terhadap puluhan warga sipil ini hanya berselang dua minggu setelah serangan udara Koalisi Arab terhadap bus sekolah yang menewaskan 40 anak laki-laki. Belakangan diketahui, bom yang digunakan untuk menyerang bus sekolah itu adalah bom Mark 82 atau MK-82 buatan Amerika Serikat (AS).

Juru bicara pejuang Houthi Yaman, Mohammed Abdul-Salam, mengatakan serangan Koalisi Arab terjadi di Distrik ad-Durayhimi, 20 kilometer (12,5 mil) dari Kota Hodeida.

Anak-anak Yaman yang menjadi korban serangan militer Arab Saudi dan sekutu. (Foto: Business Insider)
Namun, kantor berita pemerintah Uni Emirat Arab (UEA), WAM, melaporkan bahwa pemberontak Houthi yang meluncurkan serangan rudal balistik di daerah tersebut. UEA merupakan bagian dari Koalisi Arab pimpinan Saudi. Versi media itu, satu anak tewas dan lusinan lainnya terluka.

Hussein al-Bukhaiti, seorang wartawan Yaman di Sanaa, mengatakan jumlah korban tewas dalam serangan udara Kamis mencapai 31 orang. Data itu mengutip sumber medis setempat. Menurut Al-Bukhaiti, puluhan anak-anak dan wanita diserang sebelum mereka naik bus dalam upaya untuk melarikan diri.

"Serangan Saudi pada awalnya menargetkan sebuah desa di daerah ad-Durayhimi di selatan Hodeidah, menewaskan lima orang dan melukai dua (orang) lainnya. Tetapi serangan kedua Saudi-UEA menargetkan bus itu, membunuh semua orang," ujarnya, katanya kepada Al Jazeera, Jumat (24/8/2018).

Seorang anak Yaman memperlihatkan serpihan bom MK-82 Arab Saudi yang membombardir negara itu. (Foto: YemenExtra)
Agresi Koalisi Arab terhadap Yaman dengan dalih memerangi pemberontak Houthi sudah berlangsung sejak Maret 2015. Konflik itu telah menewaskan lebih dari 10.000 orang dan banyak warga di negara miskin itu dilanda kelaparan.

PBB dan dunia internasional seakan bungkam dengan aksi brutal yang dilakukan Saudi terhadap Yaman. Menurut sejumlah laporan internasional, saat ini Yaman sudah berada dalam kondisi bencana kemanusiaan yang berat, dampak dari agresi militer yang dilakukan Arab Saudi beserta sekutunya.(*JM)

Sumber:AlMassiraTV/AlJazeera